Makalah Sistem Ekonomi Islam Lengkap

BAB I
PENDAHULUAN

PENGANTAR SISTEM EKONOMI ISLAM


Menumbuhkan dan Stabil dalam Pertumbuhan, Mensejahterakan dan Merata dalam Kesejahteraan

Isu yang selalu menjadi kata kunci dalam Ekonomi Kapitalis adalah ‘pertumbuhan’. Pertumbuhan ekonomi selalu menjadi indikator kemakmuran dan menjadi solusi bagi setiap krisis ekonomi. Padahal faktanya, saat kemajuan ekonomi dicapai sekalipun, sering hal itu hanya dirasakan segelintir orang, sementara kebanyakan orang tidak ikut merasakannya.

A. Pertumbuhan dalam Ekonomi

Sebenarnya pertumbuhan dalam ekonomi adalah perkara biasa. Maksudnya, ketika ekonomi berjalan normal, seiring dengan pertambahan penduduk, tentu kegiatan ekonomi juga akan makin meningkat (tumbuh). Hanya saja, bagaimana isu pertumbuhan itu dipandang, ini yang berbeda antara sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi Kapitalis.

Dalam sistem ekonomi Kapitalis, ekonomi suatu negara dikatakan tumbuh jika terjadi peningkatan nilai total barang dan jasa yang diproduksi, termasuk jumlah uang yang beredar di sektor non-riil. Tidak diperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi itu betul-betul nyata sebagai buah dari kegiatan ekonomi rill seperti pengerjaan proyek pembangunan, jual-beli barang dan jasa, ataukah berasal dari sektor non-riil maupun sektor keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, reksadana dan lainnya yang cenderung meng hasilkan pertumbuhan semu.

Sementara itu dalam sistem ekonomi Islam, sektor finansial tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pertumbuhan oleh karena sektor ini memang tidak ada. Pertumbuhan ekonomi dalam sistem Islam, meski mungkin tidak sespektakuler dalam sistem ekonomi Kapitalis, adalah pertumbuhan yang nyata dan stabil karena memang benarbenar berasal dari sektor kegiatan ekonomi yang nyata.

Dalam sistem ekonomi Islam, Pertumbuhan ekonomi didorong di antaranya dengan memastikan bahwa uang terus beredar. Caranya, dengan melarang penimbunan emas (yang berarti melarang pe  nimbunan uang, karena uang dalam Islam adalah dinar emas); me larang pembungaan uang yang notabene transaksi ribawi dan melarang judi karena merupakan transasksi spekulasi.

Penimbunan emas (uang) akan menghambat laju putaran uang (velocity of money), yang pada akhirnya akan mengurangi laju kegiatan ekonomi. Karena itu, uang harus terus beredar. Tidak boleh ditimbun dan tidak boleh diperlakukan secara salah seperti dijadikan komoditas dengan ditarik bunganya dan kegiatan lain seperti judi dan spekulasi, hingga membuat uang hanya bertemu dengan uang, bukan dengan barang dan jasa.

Selain itu, Sistem ekonomi Islam juga mendorong orang untuk bekerja dan berusaha (berniaga). Islam sangat memuliakan orang yang mau bekerja dan mencari nafkah. Nabi saw. pernah mencium tangan kasar seorang sahabat karena bekerja keras. Nabi saw. juga menya takan bahwa dari perniagaan terbuka banyak pintu rezeki. Di sisi lain, negara dalam perspektif Islam selain aktif sebagai pelaku ekonomi, juga giat memberikan kemudahan dan fasilitas agar orang bisa bekerja dan berniaga.

Dengan cara itu, kegiatan ekonomi akan meningkat sehingga ekonomi akan terus tumbuh. Yang lebih penting lagi adalah bagaimana pertumbuhan yang telah terjadi bisa berjalan secara stabil. Hal ini penting karena secara fakta pertumbuhan yang telah dicapai oleh sistem ekonomi Kapitalis saat ini sering kali berakhir dengan krisis. Pasalnya, keadaan ekonomi dalam sistem ekonomi Kapitalis memang tidak pernah sungguh- stabil.

Pertumbuhan Ekonomi Kapitalis itu bersifat ‘siklik’. Maksudnya, ketika ekonomi dalam sistem Kapitalis tumbuh, ia tumbuh menuju puncak untuk kemudian jatuh. Mengapa? Karena per  tumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor finansial (di Indonesia bahkan mencapai 80%) ternyata sangat rawan gejolak, dan sangat ber bahaya bagi keadaan ekonomi sebuah negara secara kese luruhan. Ketika bubble (gelembung) itu meledak, sektor moneter ambruk, maka ekonomi negara juga ambruk. Keadaan semacam ini ternyata selalu berulang. Parahnya, dalam era globalisasi sekarang ini, ketika ekonomi telah terintegrasi secara global, maka krisis di sebuah negara dampaknya akan menyebar secara global ke wilayah lain.

Sebuah negara yang semula tampak sehat bisa tiba-tiba limbung karena terkena Dampak krisis ekonomi negara lain.

Hancurnya sektor perbankan di Thailand yang terlalu agresif membiayai sektor properti akhirnya memicu krisis di Indonesia pada 1997 lalu. Begitu juga krisis 2008 yang melanda Amerika Serikat dampaknya merambah hingga ke Eropa dan Asia. Krisis yang saat ini tengah melanda Zona Euro pun sudah mulai mem bawa dampak kepada Amerika Serikat, juga kawasan Asia seperti Jepang, Cina dan Indonesia dengan menurunnya volume ekspor.

Setelah mengupas pertumbuhan, lalu bagaimana Sistem ekonomi Islam bisa menciptakan Kesejahteraan ekonomi? Pertanyaan ini dijawab oleh sistem ekonomi Islam dengan penekanan pada sistem distribusi kekayaan. Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, buruknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat itulah yang membuat timbulnya kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Dengan garis kemiskinan yang dibuat oleh World Bank, 2 USD perorang perhari, ada lebih dari 100 juta orang miskin di Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa mereka menjadi miskin? Apakah tidak ada uang di tengah masyarakat? Tentu saja ada, namun uang yang beredar lebih dari Rp 240 triliun itu tidak sampai kepada mereka. Untuk mendapatkan Rp 10.000 sehari saja banyak rakyat Indonesia yang kesusahan. Jadi, benarlah bahwa akar masalahnya terletak pada buruk nya distribusi.

Ini berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis yang menyatakan bahwa Problem ekonomi adalah kelangkaan (scarcity) akibat, menurut mereka, tidak berimbangnya antara kebutuhan dan alat pemuas kebutuhan. Oleh karena itu, untuk mengatasinya mereka fokus pada Aspek produksi dan Pertumbuhan ekonomi. Soal distribusi, mereka menyerahkannya pada mekanisme pasar.

Karena itulah peran negara dalam mendistribusikan kekayaan sangatlah terbatas. Akibatnya, kesenjangan kaya miskin sedemikian lebar. Sedikit orang kaya menguasai sebagian besar kekayaan, sementara sebagian besar manusia hanya menikmati sedikit sisa-sisa kekayaan. Sebaliknya, dalam Sistem ekonomi Islam, distribusi kekayaan terwujud melalui mekanisme yang terdiri dari sekumpulan ketentuan syariah yang menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat.

Mekanisme syariah ini terdiri dari Mekanisme ekonomi (aktivitas ekonomi yang bersifat produktif) dan mekanisme non-ekonomi (aktivitas non-produktif, misalnya dengan jalan pemberian zakat, hibah, sedekah, dan lain-lainnya). Distribusi nonekonomi mencakup pula sejumlah larangan, antara lain tindak korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada para penguasa; yang ujung-ujungnya menyebabkan penumpukan harta hanya di tangan orang kaya atau pejabat saja. Sementara dalam sistem Kapitalisme dengan Laizess Fairenya memberikan kebebasan pada individu dalam mengembangkan modal dan meminimalkan peran negara. Dengan itu, diyakini bahwa kegiatan ekonomi akan berkembang.

Bila Kegiatan ekonomi di tengah masyarakat berjalan dengan baik, akan ada tangan yang tidak kelihatan (the Invisible Hand) yang akan mengatur distribusi kekayaan dengan sebaik-baiknya dimana resultante-nya adalah kemakmuran bersama. Pada kenyataannya, the Invisible Hand itu tidak pernah benar-benar ada. Akibatnya, terjadilah ketimpangan dan ketidakadilan. Inilah yang diprotes oleh gerakan Occupy Wallstreet di AS dan menyebar ke negara kapitalis lain di seluruh dunia.

Dalam protes itu selalu ada poster besar berbunyi, “Capitalism is not working”, “We are 99%”, maksudnya, Kapitalisme itu hanya berpihak pada orang kaya. Capitalism is simply of 1%, by 1%, for 1% (dari, oleh dan untuk 1%). Dalam Islam, negara berperan besar dalam distribusi kekayaan agar berjalan baik dan rakyat terpenuhi kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah), baik kebutuhan dasar individu (sandang, pangan dan papan), maupun kebutuhan dasar masyarakat (keamanan, kesehatan dan pendidikan).

Kebutuhan pokok individu dilakukan dengan cara memastikan penerapan hukum nafkah (ahkam an-nafaqat). Jika hukum ini sudah diterapkan dan individu tetap tidak mampu, barulah negara berperan langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Adapun terkait kebutuhan dasar masyarakat, negara berperan secara langsung dengan menyediakannya secara cuma-cuma. Ini bukanlah isapan jempol belaka, namun secara fakta terdapat bukti-bukti yang meyakinkan. Fakta sejarah yang membentang selama lebih dari 1400 tahun adalah bukti nyata kemampuan Islam untuk mensejahterakan rakyatnya, baik Muslim maupun non-Muslim.

B. Kesejahteraan Ekonomi Pada Masa Khalifah

Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang hanya 3 tiga tahun (99102 H/818-820 M) sebagaimana ditulis oleh Ibnu Abdil Hakam dalam Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, kesejahteraan juga dirasakan oleh seluruh rakyat. Hal ini tergambar dari ucapan Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, “Saat hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” Kemampuan Islam mensejahterakan rakyatnya diakui pula oleh penulis non-Muslim yang jujur. Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, menulis: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka.

Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad.

Demikianlah gambaran Sistem ekonomi Islam, sebuah sistem yang mampu menumbuhkan dan stabil dalam per tumbuhan, mensejahterakan dan merata dalam kesejah teraan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pokok Permasalahan dalam Ilmu Ekonomi 

Tidak jarang kita jumpai kerancuan pembahasan ketika seseorang mengupas persoalan sistem ekonomi. Ke rancuan tersebut terjadi karena sebagian mereka belum membedakan antara pembahasan ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi. Oleh karena itu agar tidak terjadi salah pemahaman, sebaiknya lebih dulu kita bahas tentang pokok-pokok permasalahan dalam ilmu ekonomi dan pokok per masalahan dalam sistem ekonomi.

1.  Ilmu Ekonomi 

Ilmu ekonomi berhubungan dengan bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misalnya teknik industri, manajemen atau pengembangan sumberdaya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Ilmu ekonomi di tempatkan sebagai pembahasan sains murni, sehingga tidak berhubungan dengan pandangan hidup (way of life) ter tentu.

Berhubungan dengan ilmu ekonomi ini Rasulullah SAW pernah menyampaikan hadits antum a’lamu bi umuri dunyakum (kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian).
Hadits ini harus ditafsirkan berdasarkan sebabnya, yaitu Nabi SAW melewati se kelompok kaum di Madinah yang sedang mengawinkan pucuk kurma, lalu Nabi SAW meng ucapkan kata-kata yang ditafsirkan salah, oleh orang-orang tersebut sehingga tahun berikutnya mereka tidak lagi mengawinkan pucuk-pucuk tersebut yang berakibat gagal panen.
Sehingga keluarlah sabda Nabi SAW : Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian, artinya masalah-masalah sarana dan teknologi. Jadi persoalan ilmu ekonomi cenderung bebas nilai. Artinya tidak terikat dengan ideologi atau mabda’ tertentu.

2.  Sistem Ekonomi 

Sistem ekonomi berhubungan dengan pengurusan soal pe menuhan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masya rakat serta upaya mewujudkan kemakmurannya. Hanya saja terdapat perbedaan metode untuk mewujudkan kemak muran tersebut. Ada yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi, ada yang menekankan pada pemerataan dan ada yang menekankan pada pemenuhan faktor produksi. Semua itu akan dikupas lebih lanjut dalam pembahasan berikutnya


Lebih jauh, pembahasan tentang sistem ekonomi harus dibahas sebagai sebuah pemikiran yang mempengaruhi dan terpengaruh oleh pandangan hidup tertentu. Artinya, pem bahasan sistem ekonomi tidak bebas nilai, sehingga terikat dengan ideologi atau mabda’ tertentu.

3.  Pembagian Sistem Ekonomi di Dunia 

Kalau kita cermati, sebenarnya sistem ekonomi yang ada di dunia ini terbagi menjadi tiga saja, yaitu; sistem ekonomi Kapitalis, sistem ekonomi Sosialis (Komunis) dan sistem ekonomi Islam. Saat ini, yang banyak dipraktekkan oleh negara-negara di dunia dan menguasai perekonomian dunia adalah sistem ekonomi Kapitalis. Sementara itu sistem ekonomi Sosialis/Komunis sudah tumbang, tinggal sisa-sisanya saja diterap kan di Korea dan China. Itupun tidak lagi murni pene rapan nya sesuai dengan konsep Sosialisme. 

Sedangkan sistem ekonomi Islam belum diterapkan, meskipun pada masa klasik dan masa pertengahan sistem ini diterapkan secara sem purna dalam rentang waktu ratusan tahun. Saat ini dunia mulai mempertimbangkan kembali diterapkannya sistem ekonomi Islam sebagai sebuah alternatif dari pe ne rapan sistem ekonomi Kapitalis yang ternyata menim bulkan banyak persoalan dan terbukti belum mampu mensejahterakan masyarakat secara merata.

4.  Metodologi Ekonomi Islam 

Muhammad Anas Zarqa (1992)1, menjelaskan bahwa ekonomi Islam mesti dibangun dari 3 kerangka metodologi. Pertama adalah presumptions and ideas, atau yang disebut dengan ide dan prinsip dasar dari ekonomi Islam. Ide ini ber sumber dari Al Qur’an, Sunnah, dan Fiqih Al Maqasid. Ide ini selanjutnya harus dapat diturunkan menjadi pendekatan yang ilmiah dalam membangun kerangka berpikir dari ekonomi Islam. Kedua adalah nature of value judgement, atau pendekatan nilai dalam Islam terhadap kondisi ekonomi yang terjadi. 

Pendekatan ini berkaitan dengan konsep utilitas dalam Islam. Terakhir, yang disebut dengan positive part of economics science. Bagian ini menjelaskan tentang realita ekonomi dan bagaimana konsep Islam bisa diturunkan dalam kondisi riil. Melalui tiga pendekatan metodologi tersebut, maka ekonomi Islam dibangun. Sementara itu Masudul Alam Choudhury (1998)2, menjelaskan bahwa pendekatan ekonomi Islam harus menggunakan shuratic process, atau pendekatan syura. 

Shuratic process adalah metodologi individual digantikan oleh sebuah konsensus para ahli dan pelaku pasar dalam menciptakan keseimbangan ekonomi dan perilaku pasar. Individualisme yang merupakan ide dasar ekonomi konvensional tidak dapat lagi bertahan, karena tidak mengindahkan adanya distribusi yang tepat, sehingga terciptalah sebuah jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. 

Jadi kerangka dasar dari ekonomi Islam didasari oleh tiga metodologi dari Muhammad Anas Zarqa, yang ke mudian dikombinasikan dengan efektivitas distribusi zakat serta penerapan konsep shuratic process (konsensus ber sama) dalam setiap pelaksanaannya. Dari kerangka tersebut, insyaAllah ekonomi Islam dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Dan semua itu harus dibungkus oleh etika luhur dari para pelakunya serta peningkatan kualitas sumber daya manusianya.
Kita hendaknya memahami kerangka dasar tentang Perbedaan ilmu ekonomi dengan sistem ekonomi, pembagian sistem ekonomi yang ada di dunia, serta Metodologi ilmu ekonomi Islam

Selanjutnya persoalan tersebut akan kita bahas satu persatu pada bab berikutnya, mulai dari konsep sistem ekonomi Kapitalis dan Sosialis, hingga itemitem dalam sistem ekonomi Islam.

5.  Politik Ekonomi Islam 

Politik ekonomi Islam adalah tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan hukum-hukum oleh negara berupa ja minan terpenuhinya semua kebutuhan primer setiap orang secara menyeluruh dan kemungkinan peningkatan menuju pemenuhan kebutuhan sekunder dan tersier sebagai indi vidu dalam komunitas yang berdasar pada sistem Islam.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan primer dilakukan dengan kewajiban bekerja pada tiap individu laki-laki se hingga bisa mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarga nya.

Allah swt berfirman;
Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka ber jalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.

Jika terdapat individu-individu yang tidak mampu bekerja maka kebutuhannya ditanggung oleh kerabat terdekatnya. Dan jika tidak ada kerabat terdekat, maka kebutuhannya ditanggung oleh negara. Oleh karena itu negara dalam sistem Islam juga diberi kewenangan sepenuhnya untuk me miliki harta-harta yang berstatus sebagai harta negara dan diberi wewenang untuk mengelola kepemilikan umum.
Tiap-tiap individu yang hendak memenuhi kebutuhan hidupnya harus terikat dengan posisinya sebagai bagian dari komunitas atau masyarakat yang memiliki mekanisme dan gaya hidup sesuai dengan sistem Islam. Oleh karena itu individu-individu tidak boleh merugikan orang lain seperti mencuri, menipu, curang dan sebagainya. Individu-individu juga tidak boleh melakukan riba karena bertentangan dengan mekanisme berekonomi yang ditetapkan oleh sistem Islam.

BAB III

KONSEP UMUM SISTEM EKONOMI ISLAM


Syari’ah Islam memandang perkara ekonomi menjadi dua bagian. Pertama: ilmu ekonomi; berhubungan dengan soal bagaimana suatu barang atau jasa diproduksi, misal nya teknik industri, manajemen atau pengembangan sum ber daya baru. Islam tidak mengatur secara khusus tentang ilmu ekonomi. Kedua: sistem ekonomi; berhubungan dengan pengurusan soal pemuasan kebutuhan dasar tiap individu di dalam masyarakat serta upaya mewujudkan kemak murannya. Inilah obyek dari Sistem ekonomi Islam.

Sedangkan pembahasan sistem ekonomi Islam meliputi tiga pilar utama yaitu: 
  1. konsep kepemilikan; 
  2. pengelolaan kepemilikan; dan 
  3. distribusi kekayaan diantara individu di masyarakat.

A.  Kepemilikan 

Islam mengatur sedemikian rupa kepemilikan yang me mung kinkan individu untuk memuaskan kebutuhannya seraya tetap menjaga hakhak masyarakat. Islam membagi kepemi likan menjadi 3, yaitu milik pribadi; milik umum; milik negara. 
Gambar 

Kepemilikan individu adalah hukum syara’ yang ber laku bagi zat ataupun kegunaan tertentu, yang memung kinkan siapa saja yang men dapatkannya untuk memanfaat kan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi –baik disewa mau pun dibeli – dari barang tersebut. Atau dengan kata lain kepemilikan individu adalah izin As Syari’ yang diberikan kepada individu untuk memanfaatkan zat tertentu.

Sedangkan kepemilikan umum adalah izin As Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Kepemilikan umum mencakup:   
  • Fasilitas umum; meliputi semua fasilitas yang dibutuh kan oleh publik yang jika tidak ada akan menyebab kan kesulitan bagi komunitas atau publik dan dapat menimbulkan persengketaan.
  • Barang tambang dalam jumlah sangat besar. Ini haram di miliki secara pribadi. Contoh: minyak bumi, emas, perak, besi, tembaga, dan lain-lain.
  • Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh pribadi; meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah tanah umum, teluk, selat, dan sebagainya. 
Sedangkan kepemilikan negara adalah harta yang merupa kan hak seluruh kaum Muslimin, sementara pengelolaan nya menjadi wewenang kepala negara.4 Persoalan kepemilikan ini akan dibahas secara luas dalam bab berikutnya.

B.  Pengelolaan Kepemilikan 

Pengelolaan kepemilikan harus dijalankan sesuai dengan ketentuan syari’ah. Islam mendorong setiap warga negara, baik lelaki maupun wanita, baik Muslim maupun dzimmi, untuk mengelola kepemilikannya, mengejar keuntungan tanpa hambatan dan memuaskan kebutuhan mereka; tanpa harus mengakibatkan ekploitasi ataupun korupsi yang ditimbulkan dari aktivitas mereka. Islam juga mendorong pemberian sedekah, hibah, pinjaman tanpa riba dan sebagainya. Sebaliknya, Islam melarang penumpukan kekayaan, pemborosan atau pembelanjaan untuk mengejar hal-hal yang haram. 

Pengelolaan milik umum dilakukan oleh negara sebagai wakil umat. Hasilnya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Diusahakan semaksimal mungkin dalam pengelolaannya tidak menimbulkan kerusakan baik lingkungan, ekosistem maupun sosial . Persoalan pengelolaan kepemilikan ini akan dibahas secara lebih lengkap dan terinci dalam bab berikutnya.

C.  Distribusi Kekayaan di Masyarakat 

Distribusi kekayaan dan kemakmuran di dalam masyarakat adalah faktor kritis dalam menentukan kecukupan sum berdaya bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah Islam menjadikan distribusi barang/jasa sebagai problem utama ekonomi. Bagi mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhannya, negara mengurusi mereka dengan kekayaan yang terkumpulkan dari harta milik umum, harta milik negara dan zakat yang di bayarkan oleh rakyat. 

Berdasarkan paradigma ini Islam telah menetapkan politik ekonomi dan mekanisme ekonomi untuk menjamin kesejahteraan umat manusia, sekaligus menjamin kemajuan serta pertumbuhan yang berkeadilan yang disertai dengan pemerataan. Berkaitan dengan penetapan politik ekonomi, menurut Abdurahman al-Maliki di dalam As-Siyâsah al-Iqtishâdiyah al-Mutslâ (Politik Ekonomi Ideal)6, 

Politik Ekonomi Islam adalah
(1) Menjamin pemenuhan semua kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) setiap orang; 
(2) Memberikan peluang kepada setiap orang untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar kemam puan nya sebagai individu yang hidup di masyarakat tertentu yang memiliki gaya hidup yang khas. Politik ekonomi ini diwujudkan melalui kebijakan-kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan belanja negara. Sementara itu, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan pokok setiap orang baik pangan, sandang dan papan, maka mekanismenya adalah: 
  • Pertama, memerintah kan setiap kepala keluarga bekerja (QS 62: 10) demi memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu (QS 2: 233). Gabungan kemaslahatan di dunia dan pahala di akhirat itu menjadi dorongan besar untuk bekerja. 
  • Kedua, mewajibkan negara untuk menciptakan lapangan kerja bagi rakyatnya. 
  • Ketiga, mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberi nafkah yang tidak mampu (QS 2: 233). 
  • Keempat, jika ada orang yang tidak mampu, sementara kerabat dan ahli warisnya tidak ada atau tidak mampu menanggung nafkahnya, maka nafkahnya menjadi kewajiban negara (bayt al-māl). 
Dalam hal ini, negara bisa menggunakan harta milik negara, harta milik umum, juga harta zakat. Bahkan jika masih kurang, negara bisa mene tapkan kewajiban pajak bagi orang yang kaya. Islam juga menetapkan kebutuhan pokok berupa pe layanan yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ke tiganya juga harus di jamin oleh negara. Pemenuhan atas ketiga pelayanan itu (pendidikan, ke sehatan dan keamanan) bagi seluruh masyarakat tanpa kecuali langsung menjadi kewajiban negara. 

Memberikan jaminan atas semua itu dan juga semua pelayanan kepada rakyat, tentu membutuhkan dana yang besar. Untuk itu syari’ah telah mengatur pengelolaan ke uangan negara (APBN) secara rinci. Abdul Qadim Zallum (1983) dalam bukunya, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan Negara Khilafah)7, secara panjang lebar telah menjelaskan sumber-sumber pe masukan negara (bayt almal). Secara garis besar, sumber pendapatan negara (bayt al-māl) ada lima. 

Pertama: hasil pengelolaan harta milik umum dengan ketiga jenis  nya. Potensi pemasukan dari jenis pertama ini sangat besar di Dunia Islam, tentu jika dikelola dengan benar sesuai syari’ah. 

Kedua, hasil penge lolaan fai, kharaj, ghanimah, jizyah, ’usyur dan harta milik negara lainnya dan BUMN selain yang mengelola harta milik umum. 

Ketiga, harta zakat. Hanya saja zakat bisa dikatakan bukan mekanis me ekonomi. Zakat adalah ibadah yang ketentuannya bersifat tawqifi baik pengambilan maupun distribusinya. 

Keempat, sumber pemasukan temporal. Ini sifatnya non-budgeter. Di antara nya: infak, wakaf, sedekah dan hadiah; harta ghulul (haram) penguasa; harta orang murtad; harta warisan yang tidak ada ahli warisnya; dharibah (pajak); dan lain-lain. Selanjutnya Zallum juga menjelaskan pos-pos belanja negara yang bisa mengantarkan pada pemerataan penda patan dan kesejahteraan di masyarakat.

Ilustrasi Will Durant, dalam The Story of Civilization, vol. XIII, p 151, menggambarkan bagaimana sistem ekonomi Islam mampu memberikan kesejahteraan bagi umat manusia, Muslim maupun non-Muslim: Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehi dupan dan kerja keras mereka. 

Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama ber abad-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadi kan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastera, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad. 

Dalam Sistem Ekonomi Islam kesejahteraan diukur berdasarkan prinsip pemenuhan kebutuhan setiap individu masyarakat, bukan atas dasar penawaran dan permintaan, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, nilai mata uang ataupun indeks harga-harga di pasar non-riil. Sistem ini terbukti telah mampu menciptakan kesejahteraan umat manusia Muslim dan non-Muslim tanpa harus selalu berhadapan dengan krisis ekonomi yang secara berkala menimpa, sebagaimana dialami sistem ekonomi Kapitalisme. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), misalnya, hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 596). 

Pada masanya, Khalifah Umar bin al Khathab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006). Lalu pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818820 M), meskipun masa Kekhilafahannya cukup singkat (hanya 3 tahun), umat Islam terus mengenangnya sebagai khalifah yang berhasil menyejahterakan rakyat. Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, ber kata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu ber kecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59). 

Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, AlAmwâl, hlm. 256). 

Pada masa keemasan bahkan di akhir kekuasan Ke khilafahan Ustmani kita menemukan surat-surat Khalifah yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmani dalam menjamin, melindungi dan memakmurkan warganya ataupun orang asing pencari suaka tanpa pandang bulu. Tertua ialah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 1519 kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kejamnya Inkuisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Al-Andalus. 

Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas bantuan pangan yang dikirim Khalifah ke sana yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris) abad ke-18. Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil kepada Khalifah pada 7 Agustus 1709. Ada juga surat tertanggal 13 Robi’ul Akhir 1282 H (5 September 1865) yang memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang beremigrasi ke Rusia namun kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia justru mereka sengsara. Yang termutakhir ialah peraturan bebas cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Khilafah pasca Revolusi Bolshevik tertanggal 25 Desember 1920 M. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel