Makalah Kejahatan Pemerkosaan Lengkap

A. Pendahuluan


Pendekatan ilmu ekonomi terhadap hukum (yang selanjutnya akan disebut sebagai Hukum dan Ekonomi) merupakan aliran ilmu hukum yang memanfaatkan analisis ekonomi dalam menjawab tiga pertanyaan besar mengenai: (i) definisi hukum; (ii) asal-muasal hukum dan cara hukum memperoleh keberlakuannya; dan (iii) kriteria hukum yang baik (Mercuro dan Medema, 2006,. 5). Pendekatan Hukum dan Ekonomi disusun berdasarkan asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan senantiasa berusaha memaksimalkan manfaat (atau utilitas) yang dapat mereka terima dengan mempertimbangkan kelangkaan sumber daya yang mereka miliki (Posner, 2011,. 3).

Dengan demikian, setiap manusia diasumsikan akan memperhitungkan unsur keuntungan dan kerugian dalam setiap tindakannya. Perhitungan keuntungan dan kerugian itu tidak berarti setiap manusia secara sadar melakukan perhitungan yang rumit dan mendalam untuk setiap tindakannya, melainkan dapat pula diperhitungkan dalam bawah sadarnya (Becker, 1990,. 7). Selain itu, tidak pula berarti setiap manusia diharuskan memiliki informasi yang lengkap sebelum mengambil keputusan (Posner, 2011,. 4). Fokus pendekatan Hukum dan Ekonomi bukan pada tingkat kesadaran manusia, melainkan konsekuensi yang akan muncul dari sifat dasar manusia di atas dan cara hal itu akan mempengaruhi hukum (Posner, 2011,. 3).

Dalam makalah ini, saya menggunakan pendekatan Hukum dan Ekonomi dalam menganalisis kejahatan pemerkosaan, termasuk mengenai sifat dasar pelaku kejahatan pemerkosaan, faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejahatan pemerkosaan, dan kebijakan  yang dapat diambil untuk mencegah atau menurunkan tingkat kejahatan pemerkosaan. Secara sepintas, saya juga menunjukkan melalui pendekatan Hukum dan Ekonomi bahwa pakaian yang dikenakan oleh wanita merupakan faktor yang minim dalam kejahatan pemerkosaan. Perdebatan mengenai hal itu pun justru menjauhkan masyarakat dari isu utama yang seharusnya ditanggulangi.

B. Kejahatan Pemerkosaan dan Perhatian yang Seharusnya Diberikan terhadap Kejahatan Itu


Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mendefinisikan pemerkosaan sebagai pemaksaan melalui kekerasan atau ancaman kekerasan kepada seorang wanita untuk bersetubuh dengan pelaku di luar perkawinan. Kejahatan itu diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun. KUHP juga mengatur mengenai beberapa perbuatan cabul dengan ancaman pidana yang lebih ringan, misalnya Pasal 286 KUHP yang memberikan ancaman pidana penjara maksimum 9 tahun untuk pelaku persetubuhan dengan wanita di luar perkawinan yang mengetahui bahwa wanita itu berada dalam keadaan pingsan atau tak berdaya.

Dalam pandangan saya, definisi yang diberikan dalam KUHP sangat tidak mencukupi dan turut menyumbang terhadap rendahnya biaya untuk melakukan pemerkosaan. Kejahatan pemerkosaan seharusnya meliputi pemaksaan hubungan seksual dalam hubungan perkawinan dan mekanisme pemaksaan seharusnya tidak terbatas pada kekerasan atau ancaman kekerasan, tetapi juga penyalahgunaan keadaan, misalnya penyalahgunaan posisi sebagai atasan terhadap bawahan.
Konsekuensinya, sepanjang semua tindakan di atas berujung pada pemaksaan hubungan seksual tanpa kesepakatan korban, seharusnya hukumannya dipersamakan dengan hukuman pemerkosaan sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP (atau dalam bentuk lain seandainya Pasal 285 KUHP dapat kita ubah). Dalam konteks artikel ini, istilah pemerkosaan didefinisikan secara luas sebagai segala bentuk pemaksaan hubungan seksual terhadap wanita tanpa kesepakatan dari wanita yang bersangkutan terlepas dari cara-cara yang digunakan oleh pelaku.2

Kejahatan pemerkosaan merupakan salah satu kejahatan yang memiliki implikasi negatif jangka panjang terhadap para korban (baik dari segi fisik maupun psikologis).3 Kerugian juga dialami secara signifikan baik terhadap korban maupun masyarakat secara keseluruhan, misalnya menurunnya persepsi wanita terhadap keamanan pribadi di ruang publik.4 Kerugian terhadap korban dan masyarakat itu hanyalah salah satu dari sekian banyak biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat, tetapi tidak ditanggung oleh para pelaku pemerkosaan (Mandhane, 2001,. 198). Hal itu bisa dianalogikan dengan perusahaan- perusahaan yang mencemari lingkungan sekitar dan menimbulkan dampak negatif kepada pihak ketiga. Namun, perusahaan tidak bersedia memberikan kompensasi atas pencemaran itu.

Dengan demikian, dari sudut pandang mana pun, kejahatan pemerkosaan tidak bisa dianggap remeh. Oleh karenanya, negara maupun masyarakat seharusnya memberikan perhatian yang lebih besar dalam menanggulangi kejahatan itu.

C. Sifat Dasar Pelaku Kejahatan dalam Pendekatan Hukum dan Ekonomi


Dalam pendekatan Hukum dan Ekonomi, ketaatan setiap warga negara terhadap hukum yang berlaku tidak dianggap terjadi secara otomatis. Terdapat perbedaan yang besar antara mengetahui suatu hukum dan menaati hukum itu. Kenyataannya, terdapat sumber daya publik dan privat yang digunakan untuk mencegah pelanggaran terhadap hukum serta menjatuhkan sanksi kepada para pelanggar hukum (Becker, 1968,. 169).

Sebagaimana dinyatakan di atas, manusia merupakan makhluk rasional dan bukan malaikat berhati mulia yang tak akan melakukan kejahatan hanya karena mereka mengetahui hukum yang berlaku. Dengan demikian, setiap pelaku kejahatan akan berusaha memaksimalkan manfaat yang dapat ia terima dari kejahatannya. Ia pun akan memperhitungkan kerugian yang mungkin ia alami sebagai akibat dari pelaksanaan kejahatan, misalnya biaya untuk melakukan kejahatan dan biaya dalam bentuk sanksi terhadap dirinya apabila ia tertangkap dan terbukti bersalah. Dalam pandangan pelaku kejahatan, apabila manfaat yang ia terima melebihi kerugian yang akan ia alami, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar pelaku kejahatan itu akan melakukan kejahatannya (Winter, 2008,. 8).

Hal tersebut berlaku untuk segala jenis tindak pidana, termasuk pemerkosaan. Meskipun demikian, tentunya insentif bagi kejahatan masing-masing berbeda. Misalnya, pendekatan terhadap kejahatan pembunuhan akan berbeda dengan kejahatan korupsi karena manfaat dan kerugian dari setiap pelaku pun berbeda. Oleh karena itu, untuk menanggulangi suatu jenis kejahatan, diperlukan analisis lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pola perilaku para pelakunya dan tipe insentif yang dapat secara efektif menanggulangi atau mengurangi perilaku negatif itu (Winter, 2008,. 8).

D. Faktor-Faktor yang Berpengaruh dalam Kejahatan Pemerkosaan


Dalam menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejahatan pemerkosaan, pertama-pertama kita harus menentukan terlebih dahulu formula perhitungan manfaat yang diterima oleh pelaku pemerkosaan. Secara sederhana, formula tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

PqQ – C(Q)

Keterangan:
     = total keuntungan pelaksanaan pemerkosaan;
Pq = nilai manfaat pemerkosaan per satuan pemerkosaan;
C  = biaya melaksanakan pemerkosaan5; dan
Q  = satuan kuantitas untuk tindakan pemerkosaan (atau jumlah pemerkosaan).

Selama hasil akhir bersifat positif, maka pelaku kejahatan pemerkosaan akan senantiasa berpotensi untuk melakukan tindakan kejahatan tersebut. Cara terbaik untuk mencegahnya adalah meningkatkan nilai Csedemikian rupa sehingga hasil akhir dari adalah negatif. Hal itu merupakan tujuan utama suatu kebijakan publik yang rasional, yaitu menjadikan kejahatan tidak lagi menguntungkan bagi para pelakunya (Becker, 1968,. 183) .

1. Komponen Manfaat dalam Pemerkosaan


Komponen utama Pq dalam pemerkosaan tentunya adalah kepuasan seksual. Dalam praktiknya, terdapat banyak cara untuk memperoleh kepuasan seksual, termasuk masturbasi dan hubungan seksual berdasarkan kesepakatan bersama, baik dengan pasangan resmi maupun tidak. Mengapa kemudian pelaku kejahatan lebih memilih melakukan pemerkosaan?

Terdapat dua penjelasan. Pertama, dapat diasumsikan bahwa bagi pelaku pemerkosaan, manfaat kepuasan seksual yang didapat dari pemerkosaan lebih tinggi dari cara pemenuhan kepuasan seksual yang lain, misalnya kepuasan tambahan yang didapat dengan jalan merendahkan korban guna menunjukkan dominasi maskulinitas pria (Bachman, Ward dan Paternoster, 1992,. 344). Dengan kata lain, pemerkosaan lebih dimotivasi oleh bias gender (Rothschild, 1993,. 232). Kedua, pemerkosaan dapat dianggap sebagai produk substitusi dari hubungan seksual berdasarkan kesepakatan. Apabila jumlah hubungan seksual berdasarkan kesepakatan menurun, jumlah pemerkosaan diasumsikan akan meningkat dan demikian sebaliknya (Posner, 1994,. 384).6

Implikasi lebih lanjut dari penjelasan kedua, seorang pemerkosa memilih untuk melakukan pemerkosaan dengan asumsi bahwa biaya untuk memperoleh kepuasan seksual dari pemerkosaan lebih rendah daripada biaya untuk memperoleh kepuasan seksual dengan jalan kesepakatan bersama.7 Dengan demikian, nilai akhir untuk pemerkosaan  akan  menjadi lebih besar dibandingkan dengan hubungan seksual berdasarkan kesepakatan, bahkan jika sekalipun nilai Pq setara, baik untuk pemerkosaan maupun hubungan seksual berdasarkan kesepakatan.

Dalam hal ini, saya lebih condong pada penjelasan kedua. Menurut saya, komponen biaya atau sebagaimana akan dibahas lebih lanjut di bawah ini lebih memegang peranan dalam keputusan seorang pemerkosa dibandingkan dengan menganalisis nilai Pq yang tidak dapat dibandingkan secara pasti dengan nilai manfaat dari hubungan seksual berdasarkan kesepakatan. Fokus terhadap komponen C juga akan lebih memudahkan kita dalam menyusun kebijakan karena jauh lebih mudah untuk meningkatkan biaya suatu aktivitas dibandingkan dengan meningkatkan manfaat dari aktivitas pengganti (dengan tujuan untuk memberikan insentif kepada orang untuk lebih memilih aktivitas pengganti itu).

2. Komponen Biaya dalam Pemerkosaan


Fungsi yang menggambarkan komponen-komponen C dapat digambarkan secara sederhana sebagai berikut.

C = f(K, dH, …)

Keterangan:

K = situasi dan kondisi dari lokasi pemerkosaan;
H = besarnya sanksi pidana yang akan dijatuhkan pada pelaku pemerkosaan; dan
d = probabilitas dijatuhkannya sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan.

Semakin kondusif situasi dan kondisi dari lokasi pemerkosaan untuk melakukan pemerkosaan dan semakin rendahnya sanksi (termasuk probabilitas dijatuhkannya sanksi tersebut terhadap pelaku), semakin rendah biaya yang diperlukan untuk melakukan pemerkosaan. Selain itu, juga semakin besar nilai yang akan didapat oleh pelaku pemerkosaan dan semakin tinggi insentif pelaku pemerkosaan untuk melaksanakan kejahatannya.

Saya membuka kemungkinan adanya komponen-komponen lain dalam suatu fungsi biaya pemerkosaan, tetapi dua faktor yang telah disebutkan dalam komponen biaya pemerkosaan di atas memiliki prioritas tertinggi dan pembahasan di bawah ini akan menjelaskan mengapa saya memberikan prioritas terhadap 2 komponen tersebut.

2.1 Situasi dan Kondisi dari Lokasi Pemerkosaan


Situasi dan kondisi dari lokasi pemerkosaan pada prinsipnya berkorelasi positif dengan teori bahwa kejahatan terjadi karena adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan itu. Ada tiga faktor yang berperan: 
(i) pelaku yang berniat untuk melakukan kejahatan; 
(ii) target yang cocok; dan 
(iii) ketiadaan penjagaan terhadap korban (Maume, 1989,. 515). 

Dalam hal itu, aktivitas sehari-hari dari pelaku dan korban menjadi faktor yang dominan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pemerkosaan umumnya lebih sering terjadi pada wanita yang melakukan pekerjaan di luar rumah dibandingkan  dengan mereka yang hanya tinggal di rumah (Maume, 1989, 516).

Tentunya, hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi untuk menyusun suatu kebijakan untuk merumahkan semua wanita untuk memperoleh rasa aman.8 Sebaliknya, penelitian itu justru menunjukkan bahwa situasi dan kondisi berperan sangat penting dalam kasus pemerkosaan. Tanpa ada situasi dan kondisi yang tepat, pemerkosaan jarang atau tidak akan terjadi. Semakin banyak daerah dengan kondisi keamanan yang buruk, semakin mudah pemerkosaan terjadi dan dapat diasumsikan bahwa jumlah pemerkosaan akan meningkat dalam kondisi demikian
Berikut satu contoh kasus sederhana. Tidak ada kasus pemerkosaan yang dilakukan di ruang terbuka dengan orang lalu-lalang pada siang hari. Kecuali pelaku memiliki penyakit mental, tidak akan ada pelaku pemerkosaan yang cukup bodoh untuk melakukan hal itu karena biaya pemerkosaan akan menjadi sangat besar.9

2.2 Sanksi dan Probabilitas Dijatuhkannya Sanksi


Tidak perlu diragukan lagi, besaran sanksi pidana atas suatu kasus akan mempengaruhi perhitungan setiap pelaku kejahatan termasuk pelaku pemerkosaan.10 Namun, komponen sanksi pidana tidak dapat dan tidak akan pernah bisa dilepaskan dari komponen probabilitas dijatuhkannya sanksi itu kepada pelaku. Seberat apa pun sanksi pidana selama kemungkinan dijatuhkannya kecil, pelaku tindak pidana akan “mendiskon” biaya dari sanksi itu.

Banyak hal bisa mempengaruhi komponen probabilitas penjatuhan sanksi dalam kasus pemerkosaan. Awalnya, harus dipahami dulu bahwa kasus pemerkosaan merupakan tindak pidana yang mudah dituduhkan, sulit untuk dibuktikan, dan lebih sulit lagi untuk dibela (Hibey, 1973,. 309). Implikasi dari pernyataan itu adalah banyak keragu-raguan yang terlibat dalam pemeriksaan perkara pemerkosaan. Hal itu menyulitkan hakim dalam menjatuhkan putusan yang tepat.

2.2.1 Kesulitan Pencarian Alat Bukti dan Insentif Negatif terhadap Korban


Sebagaimana dibahas di atas, pemerkosaan tidak akan dilakukan di tempat yang mudah terlihat oleh banyak orang. Faktor biaya yang terkait dengan situasi dan kondisi dari lokasi pemerkosaan meniscayakan bahwa pelaku pemerkosaan akan memilih lokasi dengan kemungkinan terbaik untuk melakukan pemerkosaan secara aman bagi dirinya sendiri.

Dengan kata lain, lokasi yang dipilih oleh pemerkosa umumnya menyulitkan keberadaan saksi.
Pemerkosaan dalam praktiknya juga merupakan kasus yang sulit dibuktikan secara fisik, terutama karena pemerkosaan bisa dilakukan tanpa unsur kekerasan fisik yang meninggalkan bekas tertentu pada tubuh korban. Dengan demikian, tanpa adanya saksi, pembuktian kasus pemerkosaan bisa berujung semata-mata pada pertentangan antara apa yang dikatakan terdakwa dan apa yang dikatakan korban (Ayres dan Baker, 2005,. 599).

Banyak penelitian menunjukkan bahwa pemerkosaan menimbulkan implikasi yang mendalam terhadap kondisi fisik dan psikis korban. Berapa banyak dari korban yang berani melaporkan peristiwa buruk yang telah menimpanya? Data dari Amerika Serikat untuk tahun 1992 sampai dengan 2000 menunjukkan terdapat rata-rata 131.950 kasus pemerkosaan per tahun. Dari jumlah itu, diperkirakan hanya 36% yang melaporkan  kasusnya kepada polisi (Murdock, 2007,. 1.177).

Lebih buruk lagi, proses pidana sendiri belum tentu ramah terhadap wanita dalam kasus pemerkosaan. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut, banyak penelitian menunjukkan perlakuan terhadap korban pemerkosaan sering kali berbeda dengan kasus pidana lain. Sebagai contoh, kecenderungan untuk menyalahkan korban dan sikap penegak hukum yang umumnya tidak memberikan perhatian dalam proses penyidikan dan penuntutan pidana atau malah tidak menjalankan proses tersebut sama sekali (Askin, 2011,. 8).

Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa proses sidang pemeriksaan perkara pemerkosaan bisa menjadi mimpi buruk bagi para korban, khususnya dalam proses pemeriksaan saksi. Dalam hal itu, pengacara dari pihak terdakwa menggunakan berbagai teknik linguistik yang apik untuk memindahkan beban kesalahan kepada korban dan memberikan beban psikologis tambahan kepada korban (Conley dan O’Barr, 2005,. 37).

Dengan kondisi seperti itu, dapat disimpulkan bahwa biaya untuk menuntaskan suatu kasus pemerkosaan menjadi sangat tinggi karena rendahnya insentif bagi korban untuk mencari keadilan (perlakuan buruk di segala level pencarian keadilan). Secara tidak langsung, kondisi itu juga semakin memperkecil probabilitas dijatuhkannya sanksi kepada pelaku.

2.2.2 Sanksi Berat Tidak Serta Merta Meningkatkan Probabilitas Penjatuhan Sanksi


Fakta bahwa pemerkosaan merupakan kasus yang sulit dibuktikan juga memberikan insentif negatif kepada hakim untuk menjatuhkan sanksi yang berat kepada pelaku mengingat kemungkinan pelaku tidak bersalah senantiasa ada. Siapa yang bisa menjamin bahwa pelaku benar-benar memperkosa dan korban benar-benar diperkosa ketika bukti untuk hal itu sangat minim? Tidak tertutup kemungkinan bahwa yang terjadi adalah kasus tuduhan palsu atas pemerkosaan dan sedikit banyak, hal itu akan mempengaruhi cara pandang penegak hukum dalam menghadapi kasus pemerkosaan (Bryden dan Lengnick, 1997,. 1.296-1.297).

Prinsip yang cukup terkenal adalah lebih baik menanggung biaya melepaskan pelaku kriminal dibandingkan dengan menghukum orang yang tak bersalah (Robertson dan Vignaux, 1995,. 78). Dengan demikian, dalam kasus seperti itu, akan selalu senantiasa ada trade-off atau pertukaran antara keinginan kita untuk menghukum seberat mungkin pelaku pemerkosaan dan menghindari penjatuhan sanksi kepada orang yang ternyata tidak bersalah.


Dalam hal pembuktian sulit dicapai, apabila hakim kita asumsikan sebagai pihak yang risk averse atau memiliki kecenderungan berhati-hati terhadap risiko, semakin berat ancaman sanksi pidana pemerkosaan, semakin ragu hakim untuk menjatuhkan sanksi itu. Hakim akan merasa khawatir untuk menjatuhkan sanksi kepada orang yang salah. Akibatnya, justru semakin kecil kemungkinan pelaku pemerkosaan dijatuhi hukuman yang benar-benar berat.11 Terlihatlah bahwa memperberat sanksi tanpa memperbaiki proses pembuktian pidana pemerkosaan bisa jadi malah berimplikasi buruk dan merugikan korban sekalipun awalnya diharapkan untuk memberikan insentif negatif kepada pelaku untuk mengurangi tindakannya.

2.2.3 Bias di Kalangan Penegak Hukum dan Masyarakat


Kasus pemerkosaan jarang bisa dilepaskan dari stigma atau anggapan bahwa pemerkosaan terjadi sebagai akibat dari kesalahan wanita itu sendiri, misalnya sikap, pakaian yang dikenakan, dan bahasa tubuh (Askin, 2011,. 8). Stigmatisasi itu merupakan salah satu faktor utama yang menekan biaya pemerkosaan karena menimbulkan bias di kalangan penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka untuk kasus pemerkosaan. Secara tidak langsung, hal itu turut mempengaruhi kinerja mereka menjadi lebih buruk dari yang seharusnya mereka berikan (Weisburd dan Levin, 1994, .31).

Hal tersebut bisa secara sederhana dianalogikan dengan kasus ketika kita memiliki seorang teman yang kebetulan sangat ceroboh dan ia datang meminta tolong untuk mencarikan dompetnya yang hilang di taman karena meletakkannya secara sembarangan. Pertanyaannya adalah apakah kita akan segera menolong teman itu atau menghabiskan waktu untuk menceramahinya terlebih dahulu. Kalaupun akhirnya mau menolongnya, apakah kita akan melakukannya dengan senang hati dan fokus atau kita akan melakukannya sambil menggerutu dan berasumsi bahwa dompet itu sudah pasti hilang karena ketidakhati- hatiannya?

Dalam pendekatan Hukum dan Ekonomi, khususnya pendekatan behavioral law and economics yang meminjam unsur ilmu psikologi, bias dalam kasus pemerkosaan bisa dijelaskan sebagai gabungan antara hindsight bias dengan outcome bias. Hindsight bias adalah bias dalam bentuk kecenderungan orang untuk berpikir bahwa suatu peristiwa akan lebih mudah terjadi pada masa depan dan lebih mudah diprediksi penyebabnya setelah peristiwa itu terjadi (Farnsworth, 2007,. 218)12.

Outcome bias yaitu bias dalam bentuk kecenderungan orang untuk menyalahkan suatu tindakan atau keputusan yang berujung pada kegagalan walaupun apabila dilihat secara lebih mendalam, kegagalan itu belum tentu terjadi karena tindakan/keputusan yang telah diambil sebelumnya (Farnsworth, 2007,. 220)13. Implikasi kedua bias itu sangat mendalam dalam kasus pemerkosaan dan memberikan justifikasi alasan orang cenderung menyalahkan korban dalam kasus pemerkosaan sekalipun pemerkosaan itu tidak terjadi karena kesalahan tindakan/keputusan dari korban.

Contoh bias yang sering terjadi adalah anggapan bahwa pakaian yang dikenakan oleh wanita dan sikapnya menyebabkan pemerkosaan terjadi. Seandainya tidak terjadi apa-apa, orang umumnya tidak akan mengurusi pakaian yang dikenakan wanita atau sikapnya di ruang publik. Namun, setelah pemerkosaan terjadi, sering kali pandangan itu berubah tanpa alasan yang jelas; seakan-akan pakaian dan sikap perempuan menyebabkan pemerkosaan terjadi.

Padahal, apabila kita sandingkan dengan data yang didapat dari berbagai penelitian di atas dan komponen biaya pemerkosaan yang telah saya bahas, pakaian merupakan faktor kecil dalam perhitungan komponen biaya pemerkosaan. Tanpa situasi dan kondisi yang tepat dan kemungkinan penjatuhan sanksi yang kecil, unsur pakaian tak akan berpengaruh banyak. Untuk bisa memberikan justifikasi bahwa pakaian wanita berpengaruh besar dalam kasus pemerkosaan, seharusnya dilakukan penelitian lebih mendalam mengenai seberapa banyak jumlah wanita yang diperkosa dalam kondisi berpakaian minim dibandingkan dengan mereka yang berpakaian sopan. Penelitian seperti itu pun saya yakin tak akan lengkap tanpa lagi-lagi mempertimbangkan faktor situasi dan kondisi dari lokasi pemerkosaan dan aktivitas dari korban yang bersangkutan.

2.2.4 Kesimpulan Mengenai Komponen Biaya Pemerkosaan


Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak faktor dapat menyebabkan rendahnya probabilitas dijatuhkannya sanksi pidana terhadap pelaku pemerkosaan. Semakin sedikit atau semakin lama korban melapor, semakin sulit proses pembuktian. Memperberat sanksi tak akan bermanfaat banyak, kecuali dapat dilakukan perbaikan terhadap proses pemeriksaan perkara pemerkosaan yang bisa meningkatkan kepastian penjatuhan sanksi pada pelaku yang sebenarnya. Selain itu, bias juga sangat berbahaya bagi penegakan keadilan dalam kasus pemerkosaan karena mempengaruhi kinerja penegak hukum secara negatif.

Semua hal tersebut menyebabkan rendahnya biaya untuk melakukan pemerkosaan secara umum dan secara tak langsung memberikan insentif kepada pelaku pemerkosaan untuk melakukan kejahatannya. Ironisnya, bias di level masyarakat sebenarnya juga turut membantu menurunkan biaya pemerkosaan itu. Pernahkan terbayang bahwa hanya dengan menyimpan bias sederhana dalam pikiran, kita membantu pemerkosa untuk menurunkan risiko mereka dikenai sanksi pidana sehingga kita turut menyumbang kerugian pada korban pemerkosaan?

E. Kesimpulan dan Rekomendasi


Melalui pendekatan Hukum dan Ekonomi, saya mencoba menunjukkan bahwa pelaku pemerkosaan sebagai manusia yang rasional hanya akan melakukan kejahatannya apabila nilai manfaat yang diperolehnya dari pemerkosaan melebihi biaya yang harus ditanggung olehnya. Saya pun berargumen bahwa pemerkosaan merupakan tipe kejahatan dengan biaya pelaksanaan yang cukup rendah bagi pelakunya karena berbagai faktor, seperti keberadaan situasi dan kondisi yang kondusif, kesulitan dalam pembuktian, serta keberadaan bias di kalangan penegak hukum dan masyarakat terhadap korban pemerkosaan.

Solusi yang paling efektif untuk mencegah atau menurunkan pemerkosaan adalah meningkatkan biaya pelaksanaan kejahatan pemerkosaan sedemikian rupa sehingga nilai keuntungan yang diterima atau akan bernilai negatif. Hal itu berarti bahwa dalam penyusunan kebijakan, harus diperhatikan insentif-insentif yang tepat untuk menurunkan manfaat pemerkosaan dan meningkatkan biaya pemerkosaan.

Dengan memperhatikan pembahasan di atas, berikut beberapa rekomendasi yang dapat saya sampaikan sebagai bahan diskusi lebih lanjut.
  1. Sebagai langkah awal yang sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dilakukan, perlu dilakukan pemberian pendidikan kepada penegak hukum dan masyarakat awam mengenai komponen-komponen yang paling berpengaruh terhadap kejahatan pemerkosaan. Selain itu, perlu juga diberikan penjelasan mengenai kesalahan dan akibat buruk dari bias yang sering terjadi di kalangan penegak hukum dan masyarakat terhadap kasus pemerkosaan.14
  2. Pemberian insentif yang tepat kepada korban untuk melaporkan kasus yang mereka alami secepat-cepatnya, antara lain melalui—pertama--perlindungan mutlak terhadap identitas korban dari ruang publik, misalnya jaminan sidang tertutup untuk umum. Kedua,penanganan kasus pemerkosaan yang lebih ramah terhadap korban, misalnya diusahakan sebisa mungkin agar korban ditangani oleh pejabat wanita dengan asumsi korban akan lebih mudah menyampaikan permasalahannya dengan sesama wanita dibandingkan dengan pria yang mungkin akan mempengaruhi sikap mental korban yang baru saja mengalami peristiwa buruk dengan pria.
  3. Reformasi terhadap proses pembuktian kasus pemerkosaan di persidangan, khususnya melalui penggunaan teknologi yang lebih canggih, semisal tes DNA. Hal  itu dilakukan untuk membantu kekurangan alat bukti dan peningkatan kehati-hatian dalam pemeriksaan korban sebagai saksi guna mencegah terjadinya reviktimisasi atau penyalahan kembali terhadap korban.
  4. Perluasan definisi pemerkosaan dalam KUHP Indonesia sehingga mencakup segala bentuk pemaksaan hubungan seksual terhadap wanita terlepas dari hubungan perkawinan dan cara-cara yang digunakan oleh pelaku. Bagaimanapun juga, segala hubungan seksual tanpa kesepakatan dari para pihak yang terlibat rentan terjatuh ke dalam bentuk pemerkosaan.
  5. Pemberatan sanksi sebaiknya hanya dilakukan apabila reformasi proses pembuktian sudah dicapai. Oleh karenanya, pemberian sanksi sebaiknya difokuskan pada sanksi yang dapat ditarik kembali atau yang membuka peluang kompensasi bagi terpidana kasus pemerkosaan apabila misalnya terjadi kesalahan sehingga tidak memberikan insentif negatif kepada hakim yang khawatir salah menjatuhkan hukuman dalam kasus pemerkosaan yang sulit dibuktikan.
  6. Perlu pula dipertimbangkan sanksi dalam bentuk pengumuman luas kepada publik (misalnya melalui koran) mengenai nama-nama terpidana pemerkosaan. Tak hanya itu, tercantum pula keharusan mereka untuk mendaftarkan diri dan melapor secara rutin untuk jangka waktu tertentu kepada kepolisian setempat di lokasi mereka tinggal sekiranya mereka telah selesai menjalankan hukuman (dengan ancaman pidana apabila mereka gagal untuk melakukan hal tersebut secara tepat waktu). Dengan demikian, mantan pelaku pemerkosaan bisa lebih mudah diawasi dan memberikan beban tambahan terhadap biaya pemerkosaan. Sanksi seperti itu juga masih dapat ditarik kembali dalam hal ternyata terjadi kesalahan.
  7. Sekalipun sulit dicapai dengan kondisi ekonomi Indonesia saat ini, dapat pula dipertimbangkan penambahan infrastruktur keamanan pada lokasi-lokasi yang diperkirakan kondusif untuk melakukan pemerkosaan. Pengawasan terhadap lokasi- lokasi itu seharusnya tidak terlalu sulit. Apabila polisi bisa menempatkan anggotanya pada titik-titik pelanggaran lalu lintas, mengapa mereka tidak bisa menempatkan anggotanya pada titik-titik yang rawan kejahatan?
  8. Terakhir, salah satu solusi yang saya temui di University of Chicago adalah penciptaan sistem kendaraan malam (safe ride system). Kendaraan itu digunakan untuk mengantarkan murid-murid dan pegawainya ke berbagai daerah di kota Chicago secara gratis pada malam hari (tingkat keamanan di kota Chicago memang cukup mengkhawatirkan). Sistem seperti itu sebenarnya bisa diadopsi secara tidak terlalu mahal oleh perusahaan-perusahaan yang mempekerjakan wanita sampai dengan larut malam sebagai bagian dari kompensasi mereka bekerja. Peningkatan keamanan umumnya bisa menjadi insentif yang baik untuk peningkatan produktivitas kerja.

Daftar Pustaka


Askin, Kelly D. “Comfort Women – Shifting Shame and Stigma from Victims to Victimizers.”
International Criminal Law Review 1 (2001): 5-32.

Ayres, Ian dan Katherine K. Baker. “A Separate Crime of Reckless Sexx.” The University of Chicago Law Review 72 (2005): 599-666.

Bachman, Ronet, Sally Ward dan Raymond Paternoster. “The Rationality of Sexual Offending: Testing a Deterrence/Rational Choice Conception of Sexual Assault.” Law and Society Review 26.2 (1992): 343-372.

Becker, Gary. The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: The University of Chicago Press, 1990.

________. “Crime and Punishment: An Economic Approach.” Journal of Political Economy 76.2 (1968): 169-217.

Berger, Ronald J., W. Lawrence Neuman, dan Patricia Searles. “The Impact of Rape Law Reform: An Aggregate Analysis of Police Reports and Arrests.” Criminal Justice Review 19.1 (1994): 1-23.

Bryden, David P. dan Sonja Lengnick “Rape in The Criminal Justice System.” The Journal of Criminal Law and Criminology 87.4 (1997): 1.194-1.384.

Conley, John M. dan William M. O’Barr. Just Words: Law, Language, and Power, 2nd ed.
Chicago: The University of Chicago Press, 2005.

Eskridge, William N. dan Phillip P. Frickey “Law as Equilibrium.” Harvard Law Review 108 (1994): 26-108.

Farnsworth, Ward. The Legal Analyst: A Toolkit For Thinking About the Law. Chicago: The University of Chicago Press, 2007.

Hubey, Richard A. “The Trial of a Rape Case: An Advocate’s Analysis of Corroboration, Consent, and Character.” The American Criminal Law Review 11 (1973): 309-334.

MacKinnon, Catharine A. “Defining Rape Internationally: A Comment on Akayesu.” Columbia Journal of Transnational Law 44 (2006): 940-958.

Mandhane, Renu. “Efficiency or Autonomy? Economic and Feminist Legal Theory in the Context of Sexual Assault.” University of Toronto Law Review 59.2 (2001): 173-227.

Mankiw, N. Gregory. Principles of Economics, 6th ed. United States of America: South- Western Cengage Learning, 2010.

Maume, David J. “Inequality and Metropolitan Rape Rates: A Routine Activity Approach.”
Justice Quarterly 6.4 (1989): 513-527.

Mercuro, Nicholas dan Steven G. Medema. Economics and the Law: From Posner to Post Modernism and Beyond, 2nd ed. New Jersey: Princeton University Press, 2006.

Murdock, Daniel M. “A Compelling State Interest: Constructing a Statutory Framework For Protecting the Identity of Rape Victims.” Alabama Law Review 58 (2007): 1.177-1.198.

Posner, Richard. Economic Analysis of Law, 8th ed. New York: Aspen Publisher, 2011.

Robertson, Bernard dan G.A. Vignaux. Interpreting Evidence: Evaluating Forensic Science in the Courtroom. United Kingdom: John Wiley & Sons, 1995.
Rothschild, Eric. “Recognizing Another Face of Hate Crimes: Rape as a Gender Bias Crime.”
Maryland Journal of Contemporary Legal Issues 4.2 (1993): 231-285.

Schwikkard, P.J. Presumption of Innoncence. South Africa: Juta & Co, Ltd, 1999.

Winter, Harold. The Economics of Crime: An Introduction to Rational Crime Analysis. New York: Routledge, 2008.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel