Makalah Pengembangan Manajemen Diri dalam Penggunaan Smartphone

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Semakin berkembangnya teknologi internet menjadikan era informasi berkembang sangat cepat. Melalui smartphone setiap orang mempunyai akses ke seluruh dunia menggunakan internet, sehingga memudahkan informasi tersebar dengan begitu cepat. Pada era ini menggunakan ponsel adalah sesuatu yang wajar dan akan dianggap aneh jika tidak memiliki smartphone. Hal ini menyebabkan hampir setiap orang di segala usia memiliki smartphone.
Penggunaan smartphone pun tidak bisa dihindari bagi setiap orang bahkan sudah menjadi barang wajib yang harus dibawa kemanapun pergi dan sudah menjadi bagian dari hidup seseorang (Oulasvirta & Rattenbury, 2012; Salehan & Negahban, 2013).

Saat ini smartphone tidak hanya digunakan untuk melakukan panggilan atau mengirim pesan saja tetapi dapat digunakan untuk mengakses informasi menggunakan layanan internet yang telah tersedia. Banyaknya fitur yang terdapat pada smartphone, seperti jejaring sosial, aplikasi permainan, aplikasi untuk berfoto dan membuat video, serta aplikasi-aplikasi lainnya menjadikan daya tarik tersendiri yang membuat setiap orang ingin memilikinya, tidak terkecuali remaja. Oleh karena itu, banyaknya fitur yang disediakan ini semakin memikat para pengguna agar terus menggunakan smartphone sehingga menjadi kecanduan (Goswami & Singh, 2016; Kanmani, Bhavani, & Maragatham, 2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andrew Przybylski (Jurnal apps, 2018) mengemukakan bahwa terdapat durasi ideal yang dapat digunakan oleh individu untuk menggunakan smartphone dalam satu hari adalah selama257menit(±4jam17menit). Apabilasmartphonedigunakanlebihdari 4 jam 17 menit maka hal tersebut dianggap mengganggu kerja otak khususnya para remaja. Perilaku remaja yang menunjukkan adanya keinginan untuk selalu menggunakan smartphone secara berlebihan, merupakan indikasi adanya kecanduan smartphone yang tinggi. Hal ini akan membuat remaja mengalami kesulitan dalam mengatur waktu antara belajar dan menggunakan smartphone. Remaja memiliki kecenderungan lebih banyak menggunakan media dan dapat mengembangkan lebih banyak masalah penggunaan smartphone dari pada orang dewasa ketika mereka diperkenalkan kejenis media baru. Selain itu, remaja lebih rentan terhadap kecanduan smartphone dibandingkan dengan orang dewasa (Kwon, Kim, Cho, & Yang, 2013).

Ketika sudah ketergantungan pada smartphone maka akan muncul perasaan seperti gelisah, cemas, dan takut ketika jauh dari smartphone atau yang disebut dengan nomophobia (Pinchot, Paullet, Rota, & Hunsinger, 2011). Perilaku remaja yang menunjukkan adanya keinginan untuk selalu menggunakan smartphone secara berlebihan, merupakan indikasi adanya kecanduan smartphone yang tinggi. Hal ini akan membuat remaja mengalami kesulitan dalam mengatur waktu antara belajar dan menggunakan smartphone. Pada remaja nomophobia jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat maka akan berdampak pada kinerja akademik dan tingkat motivasi dalam proses pembelajaran (Augner & Hacker, 2012; Dos, 2014), hubungan dengan keluarga dan teman sebaya, pengendalian diri yang buruk (Bian & Leung, 2014; Li, Lepp, & Barkley, 2015), rendahnya harga diri, rendahnya kemandirian (Chóliz, 2012) dan menyebabkan gejala depresi (Davie & Hilber, 2017).

Di Indonesia telah terjadi peningkatan perilaku nomophobia yaitu sekitar 84% pada individu dengan usia 18-23 tahun (Mayangsari & Ariana, 2015). Sedangkan pada remaja sendiri menunjukkan tingkat nomophobia pada kategori sangat tinggi sebesar 5%, kategori tinggi 31%, kategori sedang 35%, kategori rendah 24%, dan kategori sangat rendah 5% (Widyastuti & Muyana, 2018).

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa self management merupakan kemampuan individu untuk mengendalikan emosi, pikiran, dan tingkah lakunya terhadap dorongan dan godaan. Smartphone memiliki karakteristik khusus dan saat ini dapat digunakan kapan saja dan di mana saja, dengan demikian self management telah diidentifikasi sebagai aspek penting yang diperlukan untuk mengendalikan perilaku agar terhindar dari nomophobia pada remaja (Kim, Min, Min, Lee, & Yoo, 2018).

Modul ini dirancang untuk mengembangkan suatu model Pengembangan Manajemen Diri dalam Penggunaan Smartphone (PMD-PS), dimana tujuannya adalah untuk mengembangkan manajemen diri dalam penggunaan smartphone. PMD-PS adalah suatu model pengembangan dari self management yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengarahkan perilakunya ke arah yang lebih positif terutama dalam mengatur dan mengarahkan perilakunya dalam menggunakan smartphone sehingga tidak berlebihan.

1.2 Tujuan 

Tujuan dari pembuatan modul ini adalah untuk mengembangkan manajemen diri dalam penggunaan smartphone pada remaja sehingga tingkat nomophobia mengalami penurunan.

1.3 Manfaat 

Intervensi PMDPS iniadalah salah satu bentuk intervensi yang dapat secara langsung digunakan untuk menangani permasalahan terkait nomophobia


II. KAJIAN PUSTAKA


2.1 Nomophobia 

Nomophobia atau “no mobilephone phobia” merupakan suatu keadaan dimana individu sulit lepas dari telepon genggamnya sehingga memiliki kecenderungan menggunakan smartphone secara berlebihan dan merasakhawatir dan tidak nyaman jika tidak kontak dengan smartphone (Cheever, Rosen, Carrier,&Chavez,2014). Kondisipenggunaansmartphoneyangberlebihan ini disertai dengan adanya kompulsivitas dalam penggunaannya (Yildirim, 2014). Karakteristik yang dimiliki individu dengan nomophobia adalah menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan smartphone secara terus menerus, membawa charger kemana-mana agar tidak kehabisan baterai karena akan merasa tidak nyaman ketika kehabisan baterai, merasa gelisah ketika tidak memegang smartphone, ketika pulsa atau kuota habis akan merasa khawatir, selalu mengecek layar smartphone untuk melihat apakah ada panggilan atau pesan masuk, smartphone berada di tempat tidur saat tidur dan tidak mematikansmartphone selama24jam,lebihmemilihberkomunikasi menggunakan smartphone dibandingkan dengan interaksi secara bertatap muka (Pavithra, Madhukumar, & Mahadeva, 2015).


2.2 Faktor yang Mempengaruhi Nomophobia 

  1. Adanya tekanan sosial,waktu luang dan kebutuhan untuk berhubungan sosial. Remaja mengikuti kegiatan belajar di sekolah rata-rata sekitar 7-9 jam per hari. Sedangkan sisa waktunya biasanya digunakan untuk mengikuti aktivitas diluar akademik. Penggunaan waktu yang bebas dan tidak terjadwal dan melihat lingkungan sosial yang kebanyakan menggunakan smartphone maka sering membuat remaja melakukan aktivitas yang tidak berkaitan dengan kegiatan akademik yaitu menggunakan smartphone dengan mengakses aplikasi menggunakan internet yang tersedia untuk menjalin hubungan sosial(Gezgin, Cakir, & Yildirim, 2018). 
  2. Kurang percaya diri untuk berkomunikasi secara tatap muka. Remaja sering merasa kesulitan untuk bersosialisasi dengan lingkungan karena merasa terintimidasi ketika berkomunikasi dengan teman-temannya. Hal ini kemudian membuat remaja lebih memilih berinteraksi menggunakan smartphone. Mudahnya dalam berinteraksi dengan smartphone karena tidak membutuhkan tatap muka secara langsung membuat para remaja lebih memilih untuk berinteraksi dan menjalin relasi sosial melalui smartphone (Walsh, White, & Young, 2008). 
  3. Adanya gejala psikologis dan sosiologis seperti penarikan sosial, kebodohan, konflik dalam keluarga, memiliki masalah dengan temanteman, ketakutan karena tidak populer di antara teman-teman, dan merasa cemas dan pesimis tentang kehidupan mereka sendiri dan masa depan (Gezgin & Cakir, 2016). 
  4. Kurangnya kontrol diri. Beberapa remaja tidak bisa mengendalikan diri untuk menggunakan smartphone pada akhirnya berdampak pada akademik dan sosial mereka. Kurangnya kontrol diri ini kemudianakan berpengaruh pada kelalaian dalam mengerjakan tugas, hubungan sosial terganggu dan menyebabkan ketidakstabilam emosi (Ko, Yen, Chen, Chen, & Yen, 2005; Young, 1996).

2.3 Manajemen Diri 

Manajemen diri didefinisikan sebagai suatu cara yang digunakan oleh individu untuk mengendalikan atau mengendalikan dampak dari suatu kondisi pada kesehatan mereka secara keseluruhan (Barlow,Ellard,Hainsworth,Jones, & Fisher, 2005). Manajemen diri disebut juga dengan kontrol diri atau pengelolaan diri. Manajemen diri dideskripsikan sebagai upaya seseorang untuk mengendalikan perilaku atau keputusan mereka (Frayne & Geringer, 1992). Manajemen diri, lebih sering disebut pengendalian diri, mencakup keberadaan dua atau lebih alternatif respons; konsekuensi berbeda untuk alternatif; dan, biasanya, pemeliharaan tindakan pengendalian diri dengan konsekuensi eksternal jangka panjang (Thoresen & Mahoney, 1974).

Selain itu manajemen diri juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk menghambat respon impulsif yang merusak komitmen atau target seseorang baik jangka pendek atau jangka panjang (Metcalfe & Mischel, 1999). Manajemen diri atau pengelolaan diri mempunyai kelebihan yaitu individu dapat meningkatkan pengamatan dalam mengontrol lingkungan dan mampu mengurangi ketergantungan dalam dirinya terhadap orang lain. Manajemen diri adalah salah pendekatan yang praktis dan mudah digunakan oleh individu dalam mengarahkan perubahan perilaku yang lebih positif secara mandiri. Manajemen diri adalah sebuah proses yang bersifat otomatis dan fleksibel yang merespons dengan lancar tuntutan yang ada di lingkungan (Chen & Giblin, 2017).

2.4 Strategi Manajemen Diri 

Dalam manajemen diri, seseorang mengidentifikasi dan mendefinisikan target perilaku dan menggunakan satu atau lebih prosedur modifikasi perilaku untuk memengaruhi terjadinya suatu perubahan yang ingin dicapai. Terdapat lima tahapan yang dapat digunakan untuk manajemen diri (Miltenberger, 2012). Kelima tahapan yang digunakan adalah sebagai berikut:
  1. Penetapan Tujuan dan Pemantauan Diri (Goal-Setting dan SelfMonitoring) Penentuan tujuan adalah tahapan dimana individu menuliskan target perubahan yang ingin dicapai dan kapan perilaku tersebut dimunculkan. Individu yang memiliki tujuan yang jelas akan lebih mampu untuk mengarahkan perhatiannya secara langsung,berusaha melakukan aktivitas yang sesuai dengan tujuan dan menjauhi aktivitas yang tidak sesuai dengan tujuannya. Keberhasilan dalam mencapai tujuan merupakan hal penting,karena hal ini bisa menjadi penguat bagi individu untuk bertahan dalam program. Disisi lain,adanya tujuan dapat membantu individu untuk menggunakan strategi, cara berpikir, serta mengarahkan persepsi menjadi lebih efisien (Lathan & Locke, 2002). Penetapan tujuan dikatakan tidak efektif jika tidak dikombinasikan dengan pemantauan diri (self monitoring) dan strategi mananejemen diri lainnya (Miltenberger, 2012). Penetapan tujuan diimplementasikan paling sering bersamaan dengan pemantauan diri. Dengan self monitoring individu dapat mengevaluasi kemajuan yang muncul sesuai dengan target atau sasaran yang telah dibuat sebelumnya. 
  2. Manipulasi Faktor Penyebab (Antecedent Manipulation) Manipulasi faktor penyebab (Antecedent manipulation) merupakan suatu proses dimana individu memodifikasi lingkungan sebelum target perubahan perilaku dimunculkan (Miltenberger, 2012). Manipulasi faktor penyebab digunakan untuk memunculkan perilaku yang telah ditargetkan individu. Individu dapat menguruangi perilaku-perilaku yang tidak diinginkan dan dapat digunakan untuk meningkatkan perilaku yang ditargetkan. 
  3. Kontrak Perilaku (Behavioral Contracting) Kontrak perilaku adalah dokumen tertulis di mana individu mengidentifikasi target perilaku dan mengatur konsekuensi yang spesifik bergantung pada tingkat target perilaku tertentu dalam periode waktu tertentu. Dalam kontrak perilaku, individu mengidentifikasi dan menentukan target perilaku yang akan diubah, menetapkan metode pengumpulan data, menentukan tingkat kriteria target perilaku yang akan dicapai dalam jangka waktu tertentu (Miltenberger, 2012). 
  4. Mengatur Penguatan dan Hukuman (Arranging reinforcers and punishers) Pada tahapan keempat ini, individu secara mandiri menentukan jenis penguatan apa yang akan diperoleh ketika target perilaku dapat dicapai. Penguatan yang sudah diatur tidak dilakukan secara tertulis melainkan individu diminta untuk menyampaikannya secara lisan kepada dirinya sendiri ketika merekasudah berhasil mencapai target perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya (Miltenberger, 2012).
  5. Dukungan Sosial (Social Support) Dukungan sosial diperoleh dari seseorang yang signifikan dalam kehidupan dan memberikan kontribusi untuk memperkuat perilaku yang ingin dimunculkan. Selain itu, dukungan sosial tersebut dapat mempengaruhi bagaimana perubahan perilaku yang dimunculkan individu dapat bertahan dalam jangka waktu tertentu (Miltenberger, 2012).

2.5 Pengembangan Manajemen Diri dalam Penggunaan Smartphone 

Nomophobia dapat dikurangi apabila individu dapat mengalihkan keinginannya terhadap penggunaan smartphone ke aktivitas lain yang lebih positif (Bragazzi & Puente, 2014). Salah satu faktor yang menjadi penyebab munculnya nomophobia adalah tidak adanya kontrol perilaku. Kurang adanya pengawasan dan pengelolaan diri pada remaja dalam menggunakan smartphone memicu meningkatnya nomophobia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan nomophobia adalah dengan mengelola atau mengatur diri untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang lebih positif.

Penelitian terkait nomophobia memang masih sangat jarang dilakukan. Mengacu pada penelitian sebelumnya bahwa penerapan intervensi berupa psikoedukasi dapat menurunkan tingkat nomophobia. Namun pada studi ini terdapat kekurangan dimana intervensi ini hanya untuk memberikan pengetahuan kepada subjek. Pengetahuan yang diperoleh subjek tidak akan bertahan dalam jangka waktu yang lama. Padahal pada dasarnya, individu dengan nomophobia juga membutuhkan ketrampilan self management yang baik. Self management ini digunakan untuk mengendalikan perilaku agar terhindar dari ketergantungan. Dimana self management ini dapat diterapkan dan dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga efek yang diberikan adalah efek jangka panjang (Muniraj, 2014). Ketrampilan dalam manajemen diri jika dilakukan secara terus-menerus maka akan terjadi perubahan perilaku (Dickerson & Baron, 2000).

Pada penelitian sebelumnya self management banyak digunakan untuk menangani permasalahan terkaait ketergantuangan. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa self management dapat menurunkan ketergantungan game online (Budiyani & Abdulah, 2016). Dan penelitian lain menunjukkan bahwa self control dapat digunakan untuk mengurangi kecanduan smartphone pada mahasiswa (Yu & Son, 2016).

Self management merupakan kemampuan yang dimiliki individu dalam mengamati, mengelola, dan mengontrol lingkungan sehingga mampu menurunkan ketergantungan individu pada orang lain. Self management mempunyai peran penting dalam menangani masalah ketergantungan pada individu (Cormier, Nurius, & Osborn, 2009). Teknik ini dapat digunakan untuk mengurangi nomophobia pada remaja karena mudah untuk diterapkan. Dalam hal ini remaja dapat mengembangkan dan mengubah perilaku negatifnya ke arah yang lebih positif dengan mengamati diri sendiri, mencatat perilaku tertentu yang muncul, mengantisipasi munculnya stimulus yang dapat mempengaruhi munculnya perilaku negatif, dan mengatur sendiri penguatan positif yang didapatkan untuk memperkuat perilaku(Jones, Nelson, & Kazdin, 1977).

Berdasarkan uraian di atas maka disusun suatu program intervensi bernama “Pengembangan Manajemen Diri dalam Penggunaan Smartphone (PMD-PS)”, sebuah program untuk mengurangi nomophobia pada remaja. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam langkah-langkah treatment adalah menggunakan pendekatan kognitif sosial. Dengan target mengurangi intesitas penggunaan smartphone sehingga tingkat nomophobia pada remaja dapat mengalami penurunan. Pada terapi ini individu belajar mengubah perilaku dengan cara menetapkan target perubahan dan memanipulasi stimulus-stimulus yang dapat menjadi pengacau dalam pencapaian target (Carney & Posner, 2016). Selain manajemen diri subjek juga diberikan psikoedukasi terkait nomophobia.

Pendekatan kognitif sosial menekankan peran aktivitas kognitif dan belajar dengan cara mengamati tingkah laku manusia, serta melihat manusia sebagai orang yang berpengaruh terhadap lingkungannya sama seperti lingkungan berpengaruh terhadap dirinya. Dengan kata lain, social learning theory merupakan pandangan yang menekankan kombinasi tingkah laku, lingkungan, dan kognisi sebagai faktor utama dalam perkembangan. Bandura juga mengemukakan individu belajar banyak tentang perilaku melalui peniruan (modeling) bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) yang diterimanya. Proses belajar semacam ini disebut observational learning atau pembelajaran melalui pengamatan (Bussey & Bandura, 1999).

Proses perubahan perilaku nomophobia pada subjek dapat terjadi karena adanya proses belajar sosial. Selama intervensi subjek mendapatkan pengetahuan terkait nomophobia yang dapat memberikan dampak buruk bagi dirinya kemudian mereka mempunyai harapan dan keyakinan untuk mengurangi perilaku nomophobia tersebut. Mengurangi perilaku nomophobia dilakukan dengan menggunakan strategi yang tepat, salah satunya dengan self management yaitu mengelola dan mengatur perilaku dalam menggunakan smartphone.

Pada saat proses intervensi subjek dapat melakukan pengamatan melalui kondisi yang dialami oleh subjek lain, misalnya subjek A mampu mengontrol stimulus penggunaan smartphone dengan menghapus aplikasi smartphone. Maka subjek lainnya akan mencontoh perilaku subjek A yang dapat mengontrol stimulus penggunaan smartphone karena hal tersebut dapat membantunya untuk mendistraksi keinginan menggunakan smartphone.

Perilaku tersebut juga mempunyai peluang untuk mengkonstruk kognitif subjek untuk bisa kreatif menentukan perilaku yang dapat digunakan untuk mendistraksi keinginan menggunakan smartphone. Sedangkan untuk manajemen diri terdapat lima tahapan yaitu penetapan tujuan dan monitoring diri, manipulasi faktor penyebab, membuat kontrak perilaku, mengatur penguatan, dan mecari dukungan sosial (Miltenberger,2012). Tahapan-tahapan ini dapat digunakan untuk meningkatkan manajemen diri dan dapat mengurangi tingkat nomophobia pada remaja.

Tahapan pertama penetapan goal setting dan self monitoring. Pada tahapan pertama ini remaja membuat target perubahan perilaku kemudian mengamati atau memantau aktivitas-aktivitasnya untuk mencapai target perilaku tersebut. Tahapan kedua berkaitan dengan kemampuan remaja dalam memanipulasi faktor penyebab. Kemampuan ini dapat digunakan remaja untuk mengontrol stimulus negatif dan dengan kemampuan ini remaja akan lebih dapat mengatur rasa tidak nyamannya ke perilaku yang positif.

Tahapan ketiga berkaitan dengan kontrak perilaku. Kontrak perilaku ini memudahkan dalam pencapaian target perilaku. Selanjutnya adalah menentukan penguatan diri. Penguatan diri ini bermanfaat untuk memberikan motivasi atas perubahan perilaku remaja. Dalam hal ini nomophobia remajaakandapatberkurang. Tahapankelimaberkaitandengandukungan sosial. Remaja mencari dukungan dari lingkungan agar dapat memberikan dampak yang positif dalam perubahan perilaku. Dukungan sosial yang didapatkan oleh remaja kemudian dapat mempertahankan perubahan perilakunya sehingga nomophobia akan berkurang (Miltenberger, 2012).

PengembanganManajemenDiridalamPenggunaanSmartphone (PMDPS) adalah program berbasis kelompok yang dilakukan dengan mengkondisikan perilaku berlebihan individu dalam menggunakan smartphone. Individu diajarkan untuk mengurangi durasi dan frekuensi penggunaan smartphone, dan mengalihkan perilaku menggunakan smartphone ke perilaku yang lebih positif yang telah disetujui. Dari sudut pandang perilaku, subjek dikendalikan oleh smartphone akibat efek yang dirasakan setelah menggunakan smartphone (Bragazzi & Puente, 2014). Oleh karena itu pada intervensi ini subjek akan diajarkan bagaimana cara mengendalikan diri (self management) agar bisa lebih mengontrol perilakunya.

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Intervensi 

Keberhasilan dalam penerapan suatu intervensi biasanya dipengaruhi oleh beberapafaktor. Faktor-faktor inilah yang kemudian dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melaksanakan intervensi. Pada self managemen tini terdapat beberapa faktor yang dapat berpengaruh terhadap proses dan hasil intervensi. Pertama adalah faktor yang berhubungan dengan kemampuan penyesuaian diri individu. Kedua, faktor kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan menyelesaikan masalah sosial. Ketiga adalah keberanian dalam mengambil keputusan. Keempat, faktor kestabilan emosi yang berhubungan dengan kecemasan. Kelima, faktor ketajaman berpikir yang berhubungan erat dengan kecerdasan. Keenam faktor yang berhubungan dengan rasa aman, sehingga membuat individu tidak mudah putus asa. Dan faktor ketujuh adalah disiplin (Douglas & Douglass, 1980)

2.7 Kepentingan Pengubahan Perilaku

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa manajemen diri dalam penggunaan smartphone penting dimiliki oleh remaja agar remaja memiliki kontrol dalam menggunakan smartphone sehingga tidak berakibat pada kecanduan. Penggunan smartphone yang berlebihan atau tidak adanya batasan waktu dalam menggunakannnya dapat memberikan dampak negatif pada fisik, psikologis ataupun akademis remaja. Permasalahan penggunaan smartphone ini dapat ditangani salah satunya dengan menggunakan pendekatan kognitifsosial. Dengan menggunakan pendekatan ini remaja dapat mengatur dan mengubah perilakunya negatifnya ke perilaku yang positif. Intervensi PMD-PS ini adalah salah satu bentuk intervensi yang dapat secara langsung digunakan untuk menangani permasalahan terkait penggunaan smartphone yang berlebihan. Oleh karena itu, diharapkan intervensi ini dapat membantu dalam mengangani permasalahan remaja terkait penggunaan smartphone.

Lampiran Psikoedukasi  

“Penggunaan Smartphone Bermasalah”   

Perkembangan media dalam berkomunikasi semakin lama semakin berkembang seiring perkembangannya zaman. Smartphone adalah salah satu alat yang berkembang di era ini. Smartphone adalah salah satu alat yang menyediakan banyak aplikasi yang penggunanya dapat mengembangkan pengetahuan mereka tentang apa saja, jika mereka memaksimalkan fungsi dari fitur-fitur dan aplikasi di dalam smartphone tersebut, seperti contohnya aplikasi yang berbau pendidikan, google (untuk pencarian yang berhungan dengan pendidikan). Pengguna smartphone yang pintar dan dapat menggunakannya secara efektif, akan menimbulkan dampak-dampak positif. Smartphone dapat dijadikan sebagai peta, koran, kamus bahkan mesin pencari yang dapat dibawa secara sederhana. Hal tersebut sangat memudahkan pengguna dalam memenuhi kebutuhan mereka.

Pengunaan smartphone dikalangan masyarakat kian hari semakin meningkat terutama dikalangan anak muda, terpelajar, dan tinggal di kota. Penggunaan smartphone telah merambah luas pada anak sekolah. Smartphone yang digunakan tidak hanya untuk berkomunikasi atau SMS saja, tetapi juga sudah meluas hingga penggunaan media sosial pada  kalangan pelajar. Para peserta didik cenderung menggunakan smartphone karena banyak alasan, seperti hanya ingin mengikuti trend untuk menjadi lebih aktif di media sosial. Perilaku seperti ini, lama kelamaan akan membentuk suatu pola ketergantungan terhadap suatu benda.

Goldstein mengemukakan adanya permasalahan perilaku yang dapat mengangu aktivitas kelas diantaranya kurang perhatian (immattention), bertindak berlebihan (overactivity), dan tidak patuh, kondisi ini kemudian muncul dalam suatu bentuk perilaku yang mengangu kedisiplinan kelas yang berakibat terhadap keadaan seluruh kelas menjadi tidak kosentrasi dalam menerima pelajaran.

Selain itu, fenomena penggunaan smartphone seakan-akan memiliki dunianya sendiri. Remaja sering terlihat sibuk dengan smartphone, sampai mengabaikan orang disekitarnya. Kehadiran smartphone menjadikan pengguna jarang bersosialisasi dengan orangorang disekitarnya. Kemudahan bersosialisasi dalam menggunakan smartphone , justru membuat terlihat anti- sosial di kehidupan nyata

Sekelompok remaja yang sedang berkumpul bersama dalam satu tempat, namun frekuensi mereka berbicara lebih rendah dibanding dengan menggunakan smartphone -nya masing-masing.
Nomophobia atau “ no mobilephone phobia ” merupakan suatu keadaan dimana individu sulit lepas dari telepon genggamnya sehingga memiliki kecenderungan menggunakan smartphone secara berlebihan dan merasa khawatir dan tidak nyaman jika tidak kontak dengan smartphone.

Karakteristik yang dimiliki individu dengan nomophobia adalah menghabiskan banyak waktu untuk menggunakan smartphone secara terus menerus, membawa charger kemana-mana agar tidak kehabisan baterai karena akan merasa tidak nyaman ketika kehabisan baterai, merasa gelisah ketika tidak memegang smartphone , ketika pulsa atau kuota habis akan merasa khawatir, selalu mengecek layar smartphone untuk melihat apakah ada panggilan atau pesan masuk, smartphone berada di tempat tidur saat tidur dan tidak mematikan smartphone selama 24 jam, lebih memilih berkomunikasi menggunakan smartphone dibandingkan dengan interaksi secara bertatap muka. 

Referensi

  • Augner, C., & Hacker, G. W. (2012). Associations between problematic mobile phone use and psychological parameters in young adults. Int J Public Health, 57, 437–441. https://doi.org/10.1007/s00038-011-0234-z
  • Barlow, J. H., Ellard, D. R., Hainsworth, J. M., Jones, F. R., & Fisher, A. (2005). A reviewofself-management interventions for panic disorders,phobias and obsessive compulsive disorders. Acta Psychiatrica Scandinavica, 111(4), 272–285.
  • Bian, M., &Leung, L.(2014). LinkingLoneliness, Shyness, Smartphone Addiction Symptoms, and Patternsof Smartphone Useto Social Capital. Social Science Computer Review, 1–19. https://doi.org/10.1177/0894439314528779
  • Bragazzi, N. L., & Puente, G. Del. (2014a). A proposal for including nomophobia in the new DSM-V. Psychology Research and Behavior Management, 155–160.
  • Bragazzi, N. L., & Puente, G. Del. (2014b). A proposal for including nomophobia in the new DSM-V, 155–160.
  • Budiyani, K., &Abdulah, S.M.(2016). Self Management Trainingto Treat Online Game Addiction. Psychology & Humanity, (2013), 796–801.
  • Bussey, K., & Bandura, A. (1999). Social Cognitive Theory Of Gender Development And Differentiation. This article presents the social cognitive theory of, (106), 676–713.
  • Carney, C. E., & Posner, D. (2016). Cognitive Behavior Therapy for Insomnia in Those With Depression.
  • Cheever, N. A., Rosen, L. D., Carrier, L. M., & Chavez, A. (2014). Out of sight is not out of mind: The impact of restricting wireless mobile device use on anxiety levels among low, moderate and high users. Computers in Human Behavior, 37, 290–297.
  • Chen,M.,&Giblin,N.J.(2017). Individualcounselingandtherapy: Skillsandtechniques. Routledge.
  • Chóliz, M. (2012). Mobile-phone addiction in adolescence: The Test of Mobile Phone Dependence (TMD). Prog Health Sci, 2(1), 33–44.
  • Cormier, S., Nurius, P. S., & Osborn, C. J. (2009). Interviewing and change strategies for helpers: Fundamental skills and cognitive-behavioral interventions (Instructor’s edition). Monterey, CA, US: Brooks/Cole.
  • Davie,N.,&Hilber,T.(2017). Nomophobia: is Smartphone Addictiona Genuine Risk for Mobile Learning. 13 th International Conference Mobile Learning,(2016),100–104.
  • Dickerson,M.,&Baron,E.(2000). Contemporary issues and future directions for research into pathological gambling. Addiction, 95(8), 1145–1159.
  • Dos, B. (2014). The Relationship Between Mobile Phone Use , Metacognitive Awareness and Academic Achievement. European Journal Of Educational Research, 3(4), 192–200.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel