Budaya Korupsi Ditinjau dari Perilaku Bangsa Indonesia
Senin, 27 Januari 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena korupsi bukan hal yang baru, mungkin telah ada sejak awal sejarah manusia kecuali pada masa yang sangat primitif (Alatas, 1983), dimana secara konsep prilaku belum dikenal meskipun gejalanya bisa saja sudah ada. Korupsi secara historis merupakan konsep dan prilaku menyimpang secara hukum, ketika secara sosial polotik telah terjadi pemisahan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik, namun pada masa kekuasaan dikaitkan dengan hereditas dan pelimpahan wewenang dari yang maha kuasa (kekuatan supranatural) dan atau karena kepahlawanan (knight) yang diikuti dengan perasaan berhak atas keistimewaan (dengan dukungan diam-diam dari rakyat) maka terdapat kecenderungan untuk melihat bahwa pemanfaatan berbagai sumberdaya finansial dan non finasial untuk kepentingan penguasa atau Knight sebagai hal yang wajar meskipun at the expense of the people, karena keluarbiasaan historis dan kekuasaannya yang bukan berasal dari rakyat.
Onghokham (1983) telah mencoba mengkaji masalah korupsi dalam kontek Indonesia, dimana menurut dia fenomena korupsi telah ada sejak jaman kerajaan-kerajan di indonesia melalui venality of power, dimana kedudukan diperjualkan kepada orang atau kelompok yang mampu membayar untuk kemudian mereka diberi kedudukan yang berhak melakukan pemungutan pajak yang tanpa kontrol hukum sehingga penyimpangan yang terjadi (abuse of power) sulit diperbaiki karena lemahnya kontrol pemerintah/kerajaan serta pendiaman oleh masyarakat,. Bahkan VOC juga melakukan hal ini pada daerah-daerah yang dikuasainya melalui para demang dan atau bupati/penguasa daerah. Kondisi ini jelas menunjukan bahwa baik secara universal maupun keindonesiaan, korupsi mempunyai akar historis yang cukup kuat dalam kehidupan masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Budaya Korupsi
Apakah korupsi telah menjadi budaya?, jawabannya pasti akan bervariasi tergantung apa yang dimaksud dengan budaya serta kekuatan ikatannya dalam menentukan pola dan norma kehidupan sosial masyarakat. Moh Hatta pernah menyatakan bahwa korupsi di indonesia telah menjadi budaya dengan melihat fenomena yang terjadi, namun bila budaya itu diwariskan apakah nenek moyang kita mengajarkan korupsi atau suatu perbuatan yang kemudian dalam masa modern disebut korupsi ?, masalahnya jelas jadi rumit oleh karena itu penyebutan tersebut perlu dilakukan hati-hati atau harus dengan referensi pemaknaan budaya yang spesifik dengan selalu memperhatikan continuity and change.
Dalam periode awal pada setiap daerah/bangsa termasuk Indonesia umumnya melalui fase-fase kehidupan sosial (August Comte) dari mulai fase teologis, metafisik dan positif. Budaya dalam arti nilai yang umum dijalankan dalam fase animisme (teologi, metafisik) guna mengendalikan berbagai kejadian yang merugikan/merusak kehidupan masyarakat, pemberian sesajen menjadi salah satu instrumen penting untuk menenangkan dan memperkuat posisi kehidupan manusia, dengan sesajen diharapkan penguasa supranatural dapat melindungi kehidupan mereka. Nah kalau demikian apakah manusia berprilaku menyogok (bribery) kepada kekuatan adi kuasa?, jawabannya bisa ya dan bisa tidak dari sudut pandang individu itu tergantung niat, namun dari sudut sosial hal itu dimaksudkan sebagai upaya menjaga keseimbangan kehidupan dengan penguasa supranatural yang dipandang besar pengaruhnya bagi kehidupan manusia.
B. Pengertian Korupsi
The word corrupt (Middle English, from Latin corruptus, past participle of corrumpere, to destroy : com-, intensive pref. and rumpere, to break) when used as an adjective literally means “utterly broken” Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerjacorrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (Wikipedia)
Secara istilah Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Brasz (1963. dalam Lubis,1985) menyatakan bahwa korupsi merupakan penggunaan yang korup dari derived power atau sebagai penggunaan secara diam-diam kekuasaan yang dialihkan berdasarkan wewenang yang melekat pada kekuasaan itu atau berdasarkan kemampuan formal, dengan merugikan tujuan tujuan kekuasaan asli dan dengan menguntungkan orang luar atas dalih menggunakan kekuasaan itu dengan syah.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiah dalam bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya, Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi.
C. Penyebab Korupsi
Korupsi selalu terjadi dalam suatu konteks sosial yang membentuk konsep diri dan definisi situasi seseorang yang ketika terjadi proses soaial akan mendorng berbagai kecenderungan muncul sejalan dengan kebiasaan yang ada baik yang terbuka maupun tertutup. Korupsi cenderung terjadi secara tertutup dan kalaupun terbuka selalu ada upaya untuk menutupinya. Menurut Wang An Shih tokoh besar Cina yang hidup pada aban 11, korupasi terjadi karena buruknya hukum dan buruknya manusia. Yang pertama terkait dengan atribut kelembagaan (institutional attributes) dan yang kedua dengan atribut masyarakat (societal attributes), dan secara lebih rinci Alatas (1983) menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi adalah :
· Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi posisi kunci yangg mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakan korupsi
· Kelemahan pengajaran pengajaran agama dan etika
· Kolonialisme
· Kurangnya pendidikan
· Kemiskinan
· Tiadanya tindak hukum yang keras
· Kelangkaan lingkungan yang subur untuk prilaku anti korupsi
· Struktur pemerintahan
· Perubahan radikal
· Keadaan masyarakat
Penyebab penyebab tersebut ada yang bersifat kelembagaan, ekonomi, sosial dan individual serta ada yang bersifat mandiri dan yang bersifat kausal, namun demikian hal yang dapat dicatat adalah bahwa menghilangkan penyebab secara parsial akan suit untuk menjamin korupsi akan hilang, paling tidak hanya mengurangi tingkat kemerajalealaannya dalam kehidupan bangsa.
D. Kondisi yang Kondusif Bagi Munculnya Korupsi
Faktor-faktor penyebab terjadinya korupsi ada yang bersifat aktual dan potensial dalam arti bisa saja terjadi perubahan dalam penyebab tidak serta merta dapat menjadi pengurang terjadinya korupsi karena bila trigger nya menguat. Dan hal ini terkait dengan kondisi-kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kindisi tersebut mencakup hal-hal berikut :
· Konsentrasi kekuasan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
· Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
· Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
· Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
· Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”.
· Lemahnya ketertiban hukum.
· Lemahnya profesi hukum.
· Kurangnya kebebasan berpendapat atau kebebasan media massa.
· Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
· Rakyat yang cuek, tidak tertarik, atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
· Ketidakadaannya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan atau “sumbangan kampanye”. (Wikipedia)
Oleh karena itu disamping diperlukan menghilangkan penyebab-penyebabnya, diperlukan juga upaya mempersempit ruang gerak atau kondisi yang dapat memicu terjadinya korupsi, agar upaya pemberantasan korupsi dapat berjalan efektif dan signifikan bagi penguatan kehidupan berbangsa.
E. Akibat/Dampak Korupsi
Meskipun terdapat beberapa pakar seperti Nathaniel Lef, dan Bayley (meningkatkan investasi, fleksibilitas administrasi, percepatan penyelesaian pekerjaan terkait birokrasi) yang melihat ada dampak positif dari korupsi, namun secara universal korupsi lebih banyak dipandang sebagai prilaku yang berakibat pada keruksakan tatanan sosial ekonomi dan budaya serta mutu kehidupan masyarakat suatu bangsa. Nye dalam Revida (2003) menyatakan bahwa akibat-akibat korupsi adalah :
· Pemborosan sumber-sumber, modal yang lari, gangguan terhadap penanaman modal, terbuangnya keahlian, bantuan yang lenyap.
· ketidakstabilan, revolusi sosial, pengambilan alih kekuasaan oleh militer, menimbulkan ketimpangan sosial budaya.
· pengurangan kemampuan aparatur pemerintah, pengurangan kapasitas administrasi, hilangnya kewibawaan administrasi.
Selanjutnya Mc Mullan (1961) menyatakan bahwa akibat korupsi adalah ketidak efisienan, ketidakadilan, rakyat tidak mempercayai pemerintah, memboroskan sumber-sumber negara, tidak mendorong perusahaan untuk berusaha terutama perusahaan asing, ketidakstabilan politik, pembatasan dalam kebijaksanaan pemerintah dan tidak represif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan akibatakibat korupsi diatas adalah sebagai berikut :
· Tata ekonomi seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan, gangguan penanaman modal.
· Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
· Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
· Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, hilangnya keahlian, hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan tindakan-tindakan represif. (Revida, 2003)
Dengan demikian Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
F. Cara Menanggulangi Korupsi
Kalau korupsi dibiarkan secara terus menerus tanpa upaya menanggulanginya, maka akan terbiasa dan menjadi subur dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Meskipun berbagai upaya belum tentu dapat menghilangkan korupsi, tapi paling tidak dapat menguranginya. Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi secara tuntas dan bertanggung jawab dan masif dengan pendekatan simultan. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan. Caiden (dalam Soerjono, 1980) memberikan langkah-langkah untuk menanggulangi korupsi sebagai berikut :
· Membenarkan transaksi yang dahulunya dilarang dengan menentukan sejumlah pembayaran tertentu.
· Membuat struktur baru yang mendasarkan bagaimana keputusan dibuat.
· Melakukan perubahan organisasi yang akan mempermudah masalah pengawasan dan pencegahan kekuasaan yang terpusat, rotasi penugasan, wewenang yang saling tindih organisasi yang sama, birokrasi yang saling bersaing, dan penunjukan instansi pengawas adalah saran-saran yang secara jelas diketemukan untuk mengurangi kesempatan korupsi.
Bagaimana dorongan untuk korupsi dapat dikurangi ? dengan jalan meningkatkan ancaman. Korupsi adalah persoalan nilai. Nampaknya tidak mungkin keseluruhan korupsi dibatasi, tetapi memang harus ditekan seminimum mungkin, agar beban korupsi organisasional maupun korupsi sestimik tidak terlalu besar sekiranya ada sesuatu pembaharuan struktural, barangkali mungkin untuk mengurangi kesempatan dan dorongan untuk korupsi dengan adanya perubahan organisasi. Cara yang diperkenalkan oleh Caiden di atas membenarkan (legalized) tindakan yang semula dikategorikan kedalam korupsi menjadi tindakan yang legal dengan adanya pungutan resmi. Di lain pihak, celah-celah yang membuka untuk kesempatan korupsi harus segera ditutup, begitu halnya dengan struktur organisasi haruslah membantu kearah pencegahan korupsi, misalnya tanggung jawab pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat, dengan tidak lupa meningkatkan ancaman hukuman kepada pelaku-pelakunya. Selanjutnya, Myrdal (dalam Lubis, 1987) memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus ditindak pula. Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems), juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono (1983) menyarankan penanggulangan korupsi sebagai berikut :
· Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
· Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
· para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
· Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
· Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah departemen, beserta jawatan dibawahnya.
· Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan sistem “ascription”.
· Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
· Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur
· Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi, dibarengi sistem kontrol yang efisien.
· Herregistrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan pengenaan pajak yang tinggi.
G. Peran Pendidikan Dalam Menanggulangi Korupsi
Pendidikan merupakan upaya normatif yang mengacu pada nilai-nilai mulia yang menjadi bagian dari kehidupan bangsa, yang dengannya nilai tersebut dapat dilanjutkan melalui peran transfer pendidikan baik aspek kognitif, sikap maupun ketrampilan. Pendidikan membimbing manusia menjadi manusia manusiawi yang makin dewasa secara intelektual, moral dan sosial, dalam konteks ini pendidikan merupakan pemelihara budaya. Namun demikian dalam konteks perubahan yang cepat dewasa ini pendidikan tidak cukup berperan seperti itu namun juga harus mampu melakukan transformasi nilai dalam tataran instrumental sesuai dengan tuntutan perubahan dengan tetap menjadikan nilai dasar sebagai fondasi.
Dengan demikian secara umum pendidikan dapat dipandang sebagai upaya preventif bagi berkembangnya sikap dan prilaku korup meskipun secara empiris jelas tidak cukup mengingat faktor pressure sosial politik yang dapat juga mendistorsi peran normatif tersebut. Belakangan ini memang berkembang wacana akan perlunya pendidikan karakter, namun jika dilihat secara substantif pendidikan kita seperti tertuang dalam Undang-undang no 20 th 2003 sebenarnya adalah pendidikan karakter, jadi pendidikan karakter ya pendidikan. Yang lebih penting adalah bagaimana menciptakan karakter pendidikan bangsa dapat diselenggarakan dengan menjunjung tinggi kemandirian dan kejujuran, beberapa kasus yang terjadi justru kebijakan pendidikan tertentu (seperti UN) telah banyak mendorong sikap dan prilaku ketidak jujuran yang dapat menjadikan orang terbiasa dengan kecurangan yang nota bene merupakan potensi bagi berkembangnya korupsi atau paling tidak pengabaian terhadapnya. Dengan demikian pendidikan merupakan sarana atau bisa juga dipandang sebagai suatu respon yang tepat untuk meningkatkan ketahanan etika bangsa melalui reformasi sosial yang pada gilirannya dapat menjadi pemicu bagi terjadinya reformasi kelembagaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi, apakah sudah jadi budaya atau bukan, adalah penyalahgunaan wewenang yang ada pada pejabat atau pegawai demi keuntungan pribadi, keluarga dan teman atau kelompoknya, baik dalam bentuk Bribery, extortion, maupun nepotism. 2. Korupsi menghambat pembangunan, karena merugikan negara dan merusak sendi-sendi kebersamaan dan menghianati cita-cita perjuangan bangsa. Cara penaggulangan korupsi adalah bersifat Preventif dan Represif. Pencegahan (preventif) yang perlu dilakukan adalah dengan menumbuhkan dan membangun etos kerja pejabat maupun pegawai tentang pemisahan yang jelas antara milik negara atau perusahaan dengan milik pribadi, mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji), menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan pekerjaan, teladan dan pelaku pimpinan atau atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan pandangan, penilaian dan kebijakan, terbuka untuk kontrol, adanya kontrol sosial dan sanksi sosial,dan pendidikan dapat menjadi instrumen penting bila dilakukan dengan tepat bagi upaya pencegahan tumbuh dan berkembangnya korupsi. Sementara itu untuk tindakan represif penegakan hukum dan hukuman yang berat perlu dilaksanakan dan apabila terkait dengan implementasinya maka aspek individu penegak hukum menjadi dominan.
B. Saran
Dalam pembahasan materi di atas mengenai Budaya Korupsi ditinjau dari prilaku bangsa dan indonesia masih banyak kekurangan, baik di segi penulisan ataupun di dari penyusunan kalimat dan kata-katamya,oleh sebap itu kami selaku penulis minta maaf sebesar - besarnya kepada dosen dan mahasiswa semua, sebagai penyempurna kami mengharap kritik dan saran yang positif dari teman-teman.
DAFTAR PUSTAKA
Bellone, Carl.1980.Organization Theory and The New Public Administration. United States Of America.Allyn and Bacon, Inc. Boston/ London Sydney/ Toronto.
Onghokham, Tradisi dan Korupsi, Prisma no 2 , tahun XII, pebruari 1983
Frederickson, George, H. 1984. Administrasi Negara Baru. Terjemahan. Jakarta. LP3ES. Cetakan Pertama.
Kartono, Kartini. 1983. Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press.
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum Pidana Indonesia. Bandung. Penerbit Sinar Baru.
Lubis, Mochtar. 1977. Bunga Rampai Etika Pegawai Negeri. Jakarta. Bhratara. Karya Aksara.
Simon, Herbert. 1982. Administrative Behavior. Terjemahan St. Dianjung. Jakarta. PT. Bina Aksara.
Lubis, Mochtar, 1985. Bunga Rampai Korupsi, LP3ES, Jakarta
Alatas, Syed Hussein, 1983. Sosiologi Korupsi, LP3ES, Jakarta
Gie, Kwik Kian, 2003. Pemberantasan Korupsi
Center for Democracy and Governance, 1999. A Handbook On Fighting Corruption. Washington, D.C. 20523-3100
Vaknin, Sam.` 2003. Crime and Corruption, 1st EDITION. A Narcissus Publications Imprint, Skopje 2003
Revida, Erika. 2003. Korupsi Di Indonesia: Masalah Dan Solusinya, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara