Makalah Sistem Pendidikan Tinggi di Indonesia dan Akreditasi Pendidikan tinggi Dalam Sistem Pendidikan Nasional

Pendahuluan  

Persyaratan akademis bagi seseorang untuk bisa melamar pekerjaan telah menjadi batu pijakan bagi penyelenggara pendidikan tinggi untuk bebas menetapkan biaya bagi peserta didik yang ingin cepat mendapatkan gelar akademis. Banyak peserta didik tidak bisa segera mendapatkan gelar akademis bila tidak ikut ‘berpartisipasi’ dalam penyelenggaraan ujian karya ilmiah (tugas akhir, skripsi, dan seterusnya) dan wisuda.  Di sisi lain, semakin banyak perguruan tinggi standar (minimum) (mediocre1) yang menetapkan biaya kuliah murah di awal kuliah dan selama kuliah. Setelah SKS mencukupi untuk bisa mendapatkan gelar akademis tertentu, peserta didik diwajibkan membayar uang kelulusan yang mencakup biaya ujian dan biaya wisuda. Besarannya (misalnya Rp 4 juta) bisa lebih dari 10 kali lipat (cicilan) uang kuliah bulanan (misalnya Rp 300.000).

Praktek ini sudah berjalan puluhan tahun. Nilai nominalnya pun tidak sebesar seperti sekarang ini, tetapi berkembang menurut status perguruan tinggi. Hukum ekonomi permintaan pun berlaku. Bila permintaan bertambah, harga pasti naik, ceteris paribus. Murahnya biaya kuliah pun dipengaruhi hukum enonomi penawaran. Over supply membuat harga jatuh dan produk diobral, ceteris paribus.

Dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi pun, prinsip ekonomi sangat dipegang teguh, setidaknya oleh perguruan tinggi standar (minimum). Biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi ditekan seminim mungkin, mulai dari biaya alat (pengadaan dan perawatan sarana-prasarana yang minim dan sekedarnya), ‘upah’ untuk pendidik (yang bersifat ala kadar), sampai pada minimnya insentif untuk penelitian dan pengembangan keahlian bagi pendidik.

Banyak pendidik hanya membuat diktat dan modul tanpa statement of authorship (pernyataan bahwa tulisan itu adalah hasil karyanya sendiri).2 Hal terburuk lainnya adalah praktek ini dibiarkan oleh BAN-PT dan Ditjen Dikti sebagai karya ilmiah dan dapat digunakan dosen untuk naik jabatan. Amazing.

Diktat dan modul banyak dipakai sebagai pengganti buku teks. Alasannya, buku teks ditulis dalam bahasa Inggris dan tidak mudah dipahami oleh pendidik dan peserta didik. Kalau pun ada buku teks yang dijadikan referensi, kebanyakan sudah uzur dan bukan asli, alias bajakan dalam bentuk fotokopi. Praktek pelanggaran hak cipta dan plagiarisme menjadi suatu hal yang wajar dan lazim.

Keengganan peserta didik dan pendidik untuk memakai buku teks adalah karena mereka tidak memiliki kualifikasi untuk bisa membaca dan memahami, yakni dalam hal TPA dan TOEFL. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat perguruan tinggi sudah lama mempraktekkan prinsip garbage in, garbage out, baik dalam hal penerimaan peserta didik dan pendidik. Dulu, banyak PTS menerapkan sistem passing grade. Sekarang, mereka menerapkan sistem early bird registration.

Sertifikasi Pendidikan Tinggi  

Sudah cukup banyak perguruan tinggi yang menerapkan sistem points of sales dan waralaba dalam praktek bernama kelas jauh dan pendidikan jarak jauh. Gurita bisnis perguruan tinggi tipe ini sudah tentu ada yang mempelopori. Inovasi dalam penerimaan peserta didik dibentang luas dan dibolehkan dengan banyaknya pembukaan kelas-kelas (prodi, program studi) spesialisasi, praktek, dan membumi dalam artian bisa langsung dipekerjakan setelah tamat kuliah. Izin penyelenggaraan baru bisa diberikan oleh Menteri (Pendidikan Tinggi), tentunya setelah berbagai persyaratan minimum untuk bisa beroperasi dipenuhi dan dijalankan.

Per Februari 2015, UGM menawarkan 221 program studi yang sudah diakreditasi oleh BAN-PT, mulai dari D-III sampai S-3; disusul IPB sebanyak 172 program studi; UI sebanyak 170 program studi; UPI sebanyak 125 program studi; USU sebanyak 121 program studi; ITB sebanyak 120 program studi; dan Unair sebanyak 109 program studi. Selain 7 PTN eks-BHMN, dua PTN lainnya mencakup Unhas sebanyak 115 program studi dan ITS sebanyak 61 program studi.

Nama besar penyelenggara pendidikan tinggi tidak menyurutkan minat perguruan tinggi (yang menerapkan) standar (minimal dalam segala hal) untuk mau menjalankan usahanya. Mereka malah dengan bangga mencantumkan berbagai nama terkenal dari PTN dan PTS sebagai pejabat Guru Besar, Lektor Kepala, dan Lektor di tempat mereka menyelenggarakan pendidikan tinggi, atau minimal di atas secarik kertas pengakuan dan/atau kesediaan. Bila ditelusuri lebih lanjut, persentase kedatangan dan kehadiran mereka per bulan mungkin bisa mendekati angka nol persen.

Dalam rangka menginventarisir siapa mengajarkan apa dan di mana, pemerintah kemudian menetapkan berbagai aturan dan tata tertib dengan nama sertifikasi dosen, antara lain:
  1. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 
  2. UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi. 
  3. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen. 
  4. PP No.37/2009 tentang Dosen. 
  5. PP No.41/2009 tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor. 
  6. PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi. 
  7. Permendiknas No.47/2009 tentang Sertifikasi Pendidik Untuk Dosen. 
  8. SK Mendikbud No.53/2012 tentang Perguruan Tinggi Penilai Sertifikasi Pendidik untuk Dosen 
  9. Permendiknas No.20/2008 tentang Penetapan Inpassing Pangkat Dosen Bukan PNS yang Telah Menduduki Jabatan Akademik pada Perguruan Tinggi yang Diselenggarakan oleh Masyarakat dengan Pangkat PNS. 
  10. Permendiknas No.17/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. 
  11. Permendiknas No.48/2009 tentang Pedoman Pemberian Tugas Belajar bagi PNS di Lingkungan Depdiknas.  
Sistem yang menginventarisir seluruh data dan informasi terkait dosen sebagai pendidik dikenal dengan nama Sistem Informasi Pengembangan Karir Dosen (SIPKD). Menjelang akhir 2013, Ditendik Dikti mewajibkan semua dosen yang sudah ber-NIDN untuk mengisi SIPKD secara online. Bila tidak, tunjangan serdos diputus, kenaikan jabatan tidak bisa diproses, dan lainnya.3

Sifatnya yang personal dan individual membuat SIPKD sering diplesetkan sebagai Sistem Informasi Penyebab Keresahan Dosen. Tidak ada help-desk yang beroperasi 24/7, FAQ, konfigurasi back-end server yang qualified dan mumpuni. Oleh karena itu, banyak pihak mencemooh proyek asal-asalan Ditjen Dikti yang biasanya fire and forget. Sekali diterapkan, setelah itu vakum dan tidak ada kontinuitasnya.

SIPKD merupakan salah satu contoh. Beberapa sistem informasi akademis lainnya mencakup PDPT (dulu EPSBED), Simlitabmas, dan lainnya. Sifatnya yang rinci dan teknis menempatkan Ditjen

Dikti sebagai badan yang menjalankan 6 fungsi sekaligus, yakni regulator, controller, comptroller, Fasilitator, Empowering, Enabling.

Penertiban produk perguruan tinggi pun dilakukan dengan kewajiban perguruan tinggi untuk tunduk pada berbagai aturan dan tata tertib dengan nama kewajiban untuk mendapatkan akreditasi program studi. Dasar hukum yang utama, saat ini, adalah UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, khususnya pada paragraf 1 dari Bagian IX yang membahas tentang Proses Pendidikan dan Pembelajaran, atau tepatnya pada pasal 33 dan 34.

Upaya pemutihan dilakukan dengan menetapkan akreditasi standar suatu program studi pada grade atau nilai C bagi program studi yang sudah berjalan atau pun perguruan tinggi yang baru mendapat izin penyelenggaraan oleh Menteri (yang bertanggungjawab pada pendidikan tinggi), yakni telah memenuhi persyaratan minimum akreditasi (program studi dan institusi).

Nilai akreditasi minimum tersebut harus sudah diperbaiki dalam rentang waktu 6 bulan dengan mengajukan permohonan akreditasi ulang kepada BAN-PT.4 Bila tidak, penyelenggaraan program studi tersebut dinyatakan tidak sah dan izin penyelenggaraannya dicabut.5 Seandainya nilai akreditasi (B) belum didapatkan dan ditetapkan oleh BAN-PT, maka nilai akreditasi program studi yang bersangkutan masih pada tingkatan C.

Perkembangan Sistem Akreditasi Pendidikan Tinggi  

Dulu, sebelum ada BAN-PT yang mulai mengakreditasi program studi dan institusi penyelenggara pendidikan tinggi sejak tahun 2005, sistem akreditasi hanya berlaku dan mengacu pada instusinya saja, yakni terdaftar, diakui, dan disamakan. Bila merujuk ke dasar hukumnya, kita akan semakin takjub dan kagum bahwa produk hukum yang melandasi adalah produk pada masa orde lama, yakni UU No.22/1961 tentang Pendidikan Tinggi.

Sekedar catatan, sampai bulan November 2001, tepatnya sebelum pemberlakuan SK Mendiknas No.184/U/2001 (tentang Pedoman Pengawasan-Pengendalian dan Pembinaan Program Diploma, Sarjana dan Pascasarjana di Perguruan Tinggi), 3 status (akreditasi) PTS tersebut masih berlaku, yakni Terdaftar, Diakui, Disamakan.6 Di tahun 2002, penyelenggaraan program non-reguler di PTN diatur dalam SK Dirjen Dikti No.28/DIKTI/Kep/2002.

Perlu 44 tahun ternyata bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk memperbaharui dan melembagakan dasar hukum penilaian program studi dan institusi penyelenggara pendidikan tinggi, yakni Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT dan perubahannya (Permendiknas No.6/2010). Penyelenggaraan pendidikan tinggi pun baru diatur secara menyeluruh di tahun 2014, yakni melalui PP No.4/2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi.
Dengan berlakunya PP No.4/2014, dua peraturan pemerintah sebelumnya, khusus yang mengatur tentang pendidikan tinggi, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi, yakni:
  1. PP No.17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (LNRI 2010~23, TLNRI ~5105), dan perubahannya 
  2. PP No.66/2010 tentang Perubahan atas PP No.17/2010 (LNRI 2010~112, TLNRI~5157)
Walau demikian, BAN-PT telah ‘ada’ sejak tahun 1994 dengan kewenangan untuk melaksanakan sistem akreditasi pada semua institusi pendidikan tinggi, meliputi:7 1. Perguruan Tinggi Negeri (PTN), 2. Perguruan Tinggi Swasta (PTS), 3. Perguruan Tinggi Agama (PTA), 4. Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK), 5. Program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), 6. Program-program kerjasama dengan institusi pendidikan tinggi di dalam negeri yang ditawarkan oleh institusi pendidikan tinggi dari luar negeri.

Secara formal kelembagaan hukum, BAN-PT merupakan lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang ditetapkan melalui beberapa keputusan dan peraturan Menteri Pendidikan, antara lain:
  1. SK Mendiknas No.187/U/1998 tentang BAN-PT. 
  2. SK Mendiknas No.118/U/2003 tentang BAN-PT. 
  3. SK Mendiknas No.119/P/2003 tentang Pengangkatan Ketua, Sekretaris, dan Anggota BAN-PT. 
  4. Permendiknas No.28/2005 tentang BAN-PT. 
  5. Permendiknas No.6/2010 tentang Perubahan atas Permendiknas No.28/2005. 
  6. Permendikbud No.59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional; 
  7. Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi (mencabut semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BANPT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN). 
  8. SK Mendikbud No.207/P/2012 tentang Ketua dan Sekretaris BAN-PT, BAN-S/M, dan BANPNF Periode Tahun 2012-2017. 
  9. Permendikbud No.174/2012 tentang Anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT, BAN-S/M, BAN-PNF).  
Sebagai lembaga non-struktural di bawah Menteri Pendidikan (Tinggi) (sekarang dibawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi), legalitas, otoritas, keberadaan BAN-PT berjalan mengikuti derap langkah Menteri Pendidikan dan yang terkait, khususnya Ditjen Dikti. Beberapa peraturan terkait pelaksanaan akreditasi program studi dan penyelenggaranya, mencakup:
  1. SK Mendiknas No.004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi. 
  2. Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1). 
  3. Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. 
  4. SE Dirjen Dikti No.160/E/AK/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi atau di sini 
  5. SE DirLemKermaDikti No.1897/E2.3/T/2013 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Program Studi 
  6. SE Dirjen Dikti No.194/E.E3/AK/2014 tentang Izin Penyelenggaraan dan Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi. 
  7. SE BAN-PT No.5447/BAN-PT/AK/2013 tentang Ijin Penyelenggaraan dan Akreditasi Prodi. 
  8. SK BAN-PT No.001/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Prosedur dan Mekanisme Akreditasi Prodi 
  9. SK BAN-PT No.002/SK/BAN-PT/IV/2010 tentang Peringkat dan Masa Berlaku Akreditas Prodi Jenjang Diploma, Sarjana, Magister, Doktor, dan Profesi. 
  10. SK BAN-PT No.010/BAN-PT/Ak-X/S2/VII/2012 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi Prodi Studi pada Program Magister di Perguruan Tinggi 
  11. SK BAN-PT No.447/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014 tentang Nilai dan Peringkat Akreditasi Prodi pada Program Sarjana  
Keberadaan BAN-PT merupakan amanat dari undang-undang sistem pendidikan nasional, khususnya UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN). Pada masa itu dan sesudahnya, akreditasi bersifat sukarela, fokus implementasi terbatas pada program studi, dan pelaksanaannya dilakukan oleh BAN-PT.

Kesederhanaan ‘implementasi’ bisa dilihat dari ‘sangat sederhananya’ definisi tentang akreditasi, pada masa itu. Dalam UU No.2/1989, kata akreditasi hanya terdapat dalam Penjelasan ayat 1 dari pasal 46. Kalimat lengkapnya adalah sebagai berikut: “Penilaian (setiap satuan pendidikan dilakukan secara berkala dan dalam rangka pembinaan yang) meliputi segi-segi administrasi, kelembagaan, tenaga kependidikan, kurikulum, peserta didik, sarana dan prasarana, serta keadaan umum satuan pendidikan baik yang diselenggarakan Pemerintah maupun masyarakat untuk menentukan akreditasi satuan pendidikan dan usaha pembinaan yang diperlukan.”

Seiring berjalannya waktu, penyempurnaan dilakukan terhadap definisi sistem pendidikan nasional, yakni sebagaimana yang tertuang dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Beberapa perubahan penting terkait sistem akreditasi yang baru mencakup:
  1. sifatnya yang berubah menjadi wajib, 
  2. diterapkan terhadap program studi dan institusi penyelenggaranya, 
  3. sistem penjaminan mutu internal menjadi wajib, 
  4. pelaksana akreditasi tidak terbatas oleh BAN-PT, tetapi didelegasikan kepada beberapa lembaga akreditasi mandiri (LAM) sesuai rumpun ilmu pengetahuan dari program studi yang ingin diakreditasi. 
Beberapa tahapan penting dalam pelaksanaan sistem akreditasi oleh BAN-PT : 
  1. 1994, berdiri atas dasar dan amanat UU No.2/1989. 
  2. 1994, persiapan instrumen akreditasi untuk program studi sarjana (S1). 
  3. 1996, pelaksanaan pertama proses akreditasi program studi. 
  4. 1999, mulai menyelenggarakan akreditasi untuk program magister (S2). 
  5. 2000, menyusun naskah akademik sistem dan perangkat Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT). 
  6. 2001 mulai dengan program studi diploma dan program studi doktor (S3). 
  7. 2002, tersusunnya naskah akademik sistem dan perangkat AIPT. 
  8. 2004, perangkat instrumen AIPT telah tersusun, disosialisasikan, diujicobakan. 
  9. 2006, mulai mengakreditasi prodi sarjana Universitas Terbuka. 
  10. 2007, mulai melaksanakan AIPT terhadap 55 perguruan tinggi. 
  11. 2008, mulai melaksanakan Akreditasi Program Pendidikan Profesi (APPP). 
  12. 2008, merevisi instrumen AIPT dan menerapkannya pada 25 perguruan tinggi.  
Diberlakukannya UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud No.59/2012 tentang Badan Akreditasi Nasional, fungsi utama dalam peran dan tugas BAN-PT mengalami pergeseran yang cukup signifikan, antara lain:
  1. mengembangkan sistem akreditasi nasional; 
  2. melaksanakan akreditasi institusi; 
  3. melaksanakan penilaian kelayakan prodi/PT baru bersama Ditjen Dikti; 
  4. memberikan rekomendasi, dan 
  5. evaluasi terhadap LAM, serta 
  6. melaksanakan akreditasi program studi yang belum memiliki LAM serumpun.  
Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi mencabut semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BAN-PT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN.

Akreditasi Pendidikan Tinggi dalam Sistem Pendidikan Nasional  

Akreditasi terhadap perguruan tinggi mulai menjadi perhatian ketika pemerintah dan masyarakat merasa perlu adanya sistem penilaian bagi penyelenggara pendidikan, bukan hanya peserta didiknya saja yang perlu dinilai, tetapi semua hal yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan secara menyeluruh dan meliputi semua jenjang pendidikan dalam satu sistem bernama sistem pendidikan. Sistem penilaian yang dimaksud adalah sistem akreditasi, dimana kegiatan penilaian kelayakan program dalam satuan pendidikan dibuat berdasarkan seperangkat kriteria yang telah ditetapkan.

Sistem pendidikan yang diperbaharui memerlukan strategi tertentu. Strategi tersebut diharapkan bisa membuat visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional dapat terwujud secara efektif dengan melibatkan berbagai pihak secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan. Strategi pembangunan pendidikan nasional dalam UU No.20/2003 meliputi:
  1. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak mulia; 
  2. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi; 
  3. proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis; 
  4. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan; 
  5. peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan; 
  6. penyediaan sarana belajar yang mendidik; 
  7. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan; 
  8. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata; 
  9. pelaksanaan wajib belajar; 
  10. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan; 
  11. pemberdayaan peran masyarakat; 
  12. pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan 
  13. pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. 
Sistem pendidikan nasional yang dimaksud pada masa kini tentu berbeda dengan sistem pendidikan pada masa orla, khususnya yang didefinisikan dalam Penetapan Presiden No.19/1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Bila melihat substansi yang diatur, setidaknya ada 4 undang-undang yang pernah mendefinisikan sistem pendidikan nasional di masa orla, antara lain:
  1. UU Nr.4/1950 dari RI Dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah untuk Seluruh Indonesia (LN~1950 No.550).9 
  2.  UU No.12/1954 tentang Pernyataan Berlakunya UU Nr.4/1950 (LN~1954 No.38, TLN No.550). 
  3. Perpres No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional. 
  4. Penpres No.19/1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. 
  5. UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN) (LN~1989 No.6, TLN No.3390). 
  6. UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) (LN~2003 No.78, TLNRI No.4301).  
Sebagai juklak dari UU No.2/1989, PP No.30/1990 tentang Pendidikan Tinggi memuat hal (pengawasan dan) akreditasi pada ayat 3 dari pasal 121 di Bab XIV. Materi dan substansi akreditasi pendidikan tinggi tidak jauh berubah dengan PP No.60/1999 tentang Pendidikan Tinggi. Di Peraturan Pemerintah (No.60/1999) yang baru, persyaratan telah terakreditasi di negara asal berlaku bagi program studi yang diselenggarakan perguruan tinggi asing untuk dan atas nama kerjasama dengan perguruan tinggi domestik.

Kerjasama yang dimaksud bisa berbentuk kontrak manajemen; program kembaran; program pemindahan kredit; tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan kegiatan akademik; pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik; penerbitan bersama karya ilmiah; penyelenggaraan bersama seminar atau kegiatan ilmiah lain; dan bentukbentuk lain yang dianggap perlu. Pelaksanaan kerjasama dengan perguruan tinggi dan/atau instansi asing diatur oleh Menteri (Pendidikan Tinggi).

Tidak jauh berbedanya materi dan substansi di PP No.30/1990 dan PP No.60/1999 seakan memperlihatkan sistem akreditasi pada masa itu nampaknya jalan di tempat. Hal ini juga mencabut Perpu No.48/1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing (LN~1960 No.155, TLN No.2103).

Dulu, pengawasan pendidikan dan pengajaran asing diatur dalam (minimal 2) peraturan Penguasa Perang (KSAD dan KSAL). Perpu No.48/1960 mengakhiri masa berlakunya pengawasan pendidikan dan pengajaran asing oleh Penguasa Perang per 16 Desember 1960. Peraturan Penguasa Perang yang dimaksud adalah:
  1. Peraturan Penguasa Perang Pusat/KSAD No.Prt/Peperpu/09/1958 tanggal 14 April 1958. 
  2. Peraturan Penguasa Perang Pusat KSAL No.Z 1/1/10 tanggal 16 April 1958.  
Di awal abad ke-20, pada masa penjajahan Belanda, persyaratan, izin, dan pengawasan bersifat sangat ketat. Dengan berlakunya Ordonansi Pengawasan Pengajaran Partikelir (Staatsblad 1932 No.494)10 di bulan September 1932, semua sekolah yang tidak didirikan oleh pemerintah atau memperoleh subsidi pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dulu. Guru-gurunya harus lulusan sekolah negeri atau berasal dari sekolah bersubsidi.

Beberapa puluh tahun sebelumnya, melalui Ordonansi Guru (1905), seseorang yang mengajar agama pun harus memperoleh izin bupati. Di tahun 1925-an, peraturan itu diperlunak dengan cukup memberitahu maksud pengajaran, daftar murid, dan kurikulum. Salah satu tujuannya adalah sebagai bentuk dan upaya standarisasi pendidikan pada zaman kolonial Belanda.

Hal ini baru ditegaskan oleh UU No.20/2003 dengan menyatakan bahwa pendidik merupakan produk perguruan tinggi yang terakreditasi (pasal 42 ayat 2). Pendidik yang dimaksud adalah pendidik untuk pendidikan formal pada jenjang pendidikan usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Kualifikasi pendidik diakui melalui sertifikasi pendidik. Hal yang tidak jelas dinyatakan dalam pasal 43 ayat 2 adalah apa dan siapa yang seharusnya terakreditasi dalam hal sertifikasi pendidik, perguruan tingginya-kah atau program studinya-kah? Program studi yang dimaksud adalah program (pendidikan) pengadaan tenaga kependidikan.

Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan dalam bentuk kursus dan pelatihan, keduanya dikembangkan melalui sertifikasi dan akreditasi yang bertaraf nasional dan internasional. Sebagai bentuk pendidikan berkelanjutan, kedua hal tersebut (kursus dan pelatihan) bertujuan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan keterampilan, standar kompetensi, pengembangan sikap kewirausahaan serta pengembangan kepribadian profesional.

Khusus penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga asing, mereka diperbolehkan menyelenggarakan pendidikan di wilayah NKRI sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mereka pun wajib telah terakreditasi atau diakui di negaranya.

Status Hukum Sistem Pendidikan Nasional  

Hanya sedikit yang mengetahui dengan pasti status hukum terakhir dari UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (sisdiknas). Delapan hal pokok yang berubah pasca Hak Uji Materi di MK dengan beberapa Putusan MK, yaitu: 

1. Pasal 6 ayat (2). 
Setiap warga negara bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
  • a. sepanjang frasa “….bertanggung jawab” adalah konstitusional sepanjang dimaknai “….ikut bertanggung jawab”. 
  • b. sepanjang frasa, ”...bertanggung jawab”  tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kecuali dimaknai, “...ikut bertanggung jawab”. 
  • c. isinya berubah menjadi: “Setiap warga negara ikut bertanggungjawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan.”  
2. Pasal 12 ayat (1) huruf c. 
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya;
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
  • a. sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya” bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. 
  • b. sepanjang frasa “….yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 
  • c. isinya berubah menjadi: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi.
3. Pasal 49 ayat (1). 
Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD.
Putusan MK (No.24/PUU-V/2007, tanggal 20 Feb. 2008) →
  • a. sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik dan”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 
4. Penjelasan Pasal 49 ayat (1). 
Pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap. Putusan MK (No.011/PUU-III/2005, tanggal 19 Feb. 2005) →
  • a. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5. Pasal 50 ayat (3). 
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.
Putusan MK (No.5/PUU-X/2012 tanggal 8 Januari 2012) →
  • a. bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. 
  • b. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 
6. Pasal 53 ayat (1). 
Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
  • a. sepanjang frasa “badan hukum pendidikan” dimaknai sebagai sebutan fungsi penyelenggara pendidikan dan bukan sebagai bentuk badan hukum tertentu. 
7. Penjelasan Pasal 53 ayat (1). 
Badan hukum pendidikan dimaksudkan sebagai landasan hukum bagi penyelenggara dan/atau satuan pendidikan, antara lain, berbentuk badan hukum milik negara (BHMN).
Putusan MK (No.11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009, tanggal 31 Maret 2010) →
  • a. bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945. 
  • b. tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
8. Pasal 55 ayat (4). 
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Putusan MK (No.58/PUU-VIII/2010, tanggal 29 September 2011) →
  • a. kata ‘dapat’ bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. 
  • b. kata ‘dapat’tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat kalau dimaknai berlaku bagi jenjang pendidikan dasar yang berbasis masyarakat. 
9. Pasal 67 ayat (1). 
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi  tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
  • a. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register No.77/PUUXI/2013. 
  • b. Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 67 ayat (1) sepanjang frasa “tanpa hak”.  
10. Pasal 71. 
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin Pemerintah atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) <Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal yang didirikan wajib memperoleh izin Pemerintah atau pemerintah daerah.> dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Putusan MK (No.77/PUU-XI/2013, tanggal 30 Januari 2014) →
  • a. Mengabulkan penarikan kembali permohonan Pemohon dengan register No.77/PUUXI/2013. 
  • b. Pemohon tidak dapat mengajukan kembali permohonan pengujian konstitusionalitas Pasal 71 sepanjang frasa  “tanpa ijin pemerintah atau pemerintah daerah” 
Akreditasi Pendidikan Tinggi  

Berdasarkan proses dan alur kerjanya, akreditasi merupakan bagian kedua dari tiga tahapan penilaian, yakni evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan dan disebutkan dalam Bab XVI di UU No.20/2003. Beberapa tujuan dari ketiga aktivitas ini mencakup:
  1. pengendalian mutu pendidikan secara nasional dan penilaian pencapaian standar nasional pendidikan atas dasar kriteria yang bersifat terbuka. 
  2. penentuan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan nonformal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. 
  3. pemantauan kesinambungan proses, kemajuan, perbaikan hasil belajar peserta didik, program, dan satuan (lembaga) pendidikan pada jalur formal dan non-formal untuk semua jenjang dan jenis pendidikan sebagai objek evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. 
  4. penyelenggaraan penilaian program studi oleh pengelola pendidikan (dalam bentuk hasil evaluasi, EPSBED); dan/atau oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga mandiri, masyarakat dan/atau organisasi profesi (dalam bentuk hasil akreditasi) yang berwenang secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik; dan hasil penyelenggaraannya dinyatakan dalam bentuk sertifikat (ijazah dan sertifikat kompetensi bagi peserta didik; nilai akreditasi bagi program studi dan penyelenggara program studi; sertifikat kompetensi bagi penyelenggara pendidikan) yang dibuat oleh lembaga sertifikasi. 
  5. pernyataan dan bentuk akuntabilitas publik penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. 
  6. mendapatkan pengakuan atas berbagai hal terkait proses dan hasil akreditasi. 
  7. mendapatkan alokasi dana dan bantuan akreditasi program studi secara kompetitif, transparan, dan objektif dalam rangka pelaksanaan dan penyiapan akreditasi prodi yang belum diakreditasi oleh BAN-PT dan/atau nilai akreditasi yang sudah mau kadaluwarsa, yakni berdasarkan mutu proposal yang diajukan dan terbuka bagi setiap perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat.  
Bila mengacu pada proses, input, dan output, akreditasi merupakan perwujudan dari ketiga hal tersebut. Sebagai proses, akreditasi merupakan upaya BAN-PT untuk menilai dan menentukan status mutu program studi di perguruan tinggi berdasarkan standar mutu yang telah ditetapkan. Sebagai hasil, akreditasi merupakan status mutu perguruan tinggi yang diumumkan kepada masyarakat.

Hasil yang dinyatakan sebagai output, dalam sistem yang berkesinambungan, continuous and sustainable, output tersebut merupakan input bagi penyelenggara program studi untuk terus menerus melakukan perbaikan, mempertahankan mutu yang tinggi, dan meningkatkan mutu ke taraf yang lebih tinggi lagi (CQI, continuous quality improvement).

Berbeda dengan bentuk penilaian mutu lainnya, akreditasi dilakukan oleh pakar sejawat dan mereka yang memahami hakekat pengelolaan program studi/perguruan tinggi sebagai Tim atau Kelompok Assessor. Keputusan mengenai mutu didasarkan pada penilaian terhadap berbagai bukti yang terkait dengan standar yang ditetapkan dan berdasarkan nalar dan pertimbangan para pakar sejawat  (judgments of informed experts).

Bukti-bukti yang diperlukan termasuk laporan tertulis yang disiapkan oleh institusi perguruan tinggi yang akan diakreditasi yang diverifikasi melalui kunjungan para pakar sejawat ke tempat kedudukan perguruan tinggi. Sebagai bentuk dan upaya penilaian mutu eksternal, akreditasi merupakan penilaian yang berkaitan dengan akuntabilitas, pemberian izin, pemberian lisensi oleh badan tertentu.

Salah satu output dari akreditasi mutu eksternal (external quality assessment, EQA) adalah dalam rangka menentukan peringkat (ranking) perguruan tinggi. Data dan informasi sebagai instrumen akreditasi oleh lembaga eksternal yang dibutuhkan biasanya tidak jauh berbeda dengan yang dipersyaratkan oleh BAN-PT, termasuk didalamnya segala hal terkait EPSBED (yang setara dengan IQA, internal quality assessment).

Beberapa landasan hukum yang terkait dengan keberadaan, tugas, dan fungsi akreditasi pendidikan tinggi dalam hubungannya dengan mutu dan penjaminan mutu, antara lain:
  1. UU No.20/2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional; 
  2. UU No.12/2012 tentang Pendidikan Tinggi; 
  3. UU No.14/2005 tentang Guru dan Dosen;
  4. PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP); 
  5. PP No.32/2013 tentang Perubahan atas PP No.19/2005. 
  6. PP No.13/2015 tentang Perubahan Kedua atas PP No.19/2005. 
  7. Perpres No.8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI); 
  8. Permendiknas No.20/2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan; 
  9. Permendiknas No.63/2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP); 
  10. Permendiknas No.2/2010 tentang Renstra Kementerian Pendidikan Nasional Tahun 2010-2014;  
Instrumen Akreditasi 

Sebelum BAN-PT melaksanakan akreditasi terhadap suatu program studi dan/atau institusi penyelenggaranya, perguruan tinggi tersebut sudah harus melakukan internal review, IQA, atau yang lebih dikenal dengan EPSBED (Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri). Komponen EPSBED, daftar isian (atau borang) program studi dan daftar isian pengelola program studi merupakan instrumen akreditasi (satu) program studi.

Instrumen akreditasi prodi dan institusi perguruan tinggi diatur dalam Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana (S1). Beberapa dokumen terkait proses akreditasi yang sudah ada saat ini, antara lain:
  1. Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT). 
  2. Program Studi 
  3. Program Studi D-III Keperawatan   
  4. Program Studi D-III Kebidanan 
  5. Program Studi Ners 
  6. Program Studi Kedokteran 
  7. Program Studi Pendidikan Dokter Gigi 
  8. Program Studi Kedokteran Hewan 
  9. Program Studi Magister Psikologi Profesi 
  10. Program Pendidikan Profesi Akuntansi 
  11. Program Pendidikan Profesi Guru  
Komponen atau Standar Akreditasi

Daftar isian program studi dan daftar isian pengelola program studi mencakup deskripsi dan analisis yang sistematis sebagai respons yang proaktif terhadap berbagai indikator yang dijabarkan dari standar akreditasi program studi. Standar dan indikator akreditasi tersebut dijelaskan dalam pedoman penyusunan borang akreditasi program studi.

Informasi yang diperoleh dari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan dalam borang akreditasi itu digunakan untuk dua tujuan pokok, yaitu untuk:
  1. menilai kinerja akademik dan administratif program studi, dan 
  2. menemukan dimensi-dimensi kinerja program studi yang memerlukan perbaikan atau pembinaan.  
Pertanyaan yang dituangkan dalam borang akreditasi disusun berdasarkan beberapa dimensi mutu yang menunjukkan mutu suatu program studi. Jumlah dimensi mutu bervariasi karena banyak hal, seperti menurut perspektif, waktu perumusannya, pihak-pihak yang merumuskan, atau lainnya. Upaya pembedaan label dan pigeon-holing biasa terjadi.
Dalam Lampiran V (dari Permendiknas No.73/2009 tentang Perangkat Akreditasi Program Studi Sarjana S1) yang berisi Panduan Pengisian Borang Akreditasi Program Studi Jenjang S1, dimensi mutu berjumlah 9. Sementara dalam Lampiran I-nya yang berisi Naskah Akademik Akreditasi Program Studi Sarjana, dimensi mutu dinyatakan berjumlah 11.

Kesebelas dimensi mutu tersebut adalah kepemimpinan (leadership); relevansi, kesesuaian (relevancy); suasana akademik (academic atmosphere); (internal management and organisation, governance, tata pamong) yang ber-kecukupan (adequate) dan layak (appropriate); keberlanjutan (sustainability); selektivitas (selectivity); efisiensi (efficiency); efektivitas (effectiveness); ekuitas (pemerataan, keadilan); produktivitas (productivity).

Kesebelas dimensi ini menunjukkan mutu komprehensif dari suatu penyelenggaraan program studi untuk menghasilkan keluaran yang bermutu tinggi, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Hubungan kesebelas dimensi mutu tersebut mewujudkan prinsip L-RAISE++. Program studi yang ingin diakreditasi seharusnya mendeskripsikan dan menganalisis semua indikator dalam konteks keseluruhan standar akreditasi dengan memperhatikan 11 dimensi mutu yang merupakan jabaran dari L-RAISE++.

Komponen atau perihal yang dijadikan tolok ukur atau indikator bagi BAN-PT untuk melakukan penilaian akreditasi terbagi atas 7 standar, yakni:
  1. Visi, misi, tujuan dan sasaran, serta strategi pencapaian. 
  2. Tata pamong, kepemimpinan, sistem pengelolaan, dan penjaminan mutu. 
  3. Mahasiswa dan lulusan. 
  4. Sumber daya manusia.
  5. Kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik. 
  6. Pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sistem informasi. 
  7. Penelitian dan pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerja sama.
Kaidah dan Kode Etik Akreditasi 

Untuk menjaga kelancaran, obyektivitas dan kejujuran dalam pelaksanaan akreditasi suatu program studi, BAN-PT mengembangkan serangkaian kaidah dan kode etik akreditasi yang perlu dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan akreditasi, yaitu assessor, program studi yang ingin diakreditasi, dan para anggota dan staf sekretariat BAN-PT.

Kaidah dan kode etik tersebut berisikan pernyataan dasar filosofis dan kebijakan yang melandasi penyelenggaraan akreditasi; hal-hal yang harus dilakukan (the dos) dan yang tidak layak dilakukan (the don’ts) oleh setiap pihak terkait; serta sanksi terhadap “pelanggaran”-nya. Penjelasan dan rincian kode etik ini berlaku umum bagi akreditasi semua tingkat dan jenis peguruan tinggi dan program studi. Oleh karena itu kode etik tersebut disajikan dalam buku tersendiri di luar perangkat instrumen akreditasi program studi.

Prosedur Akreditasi

Salah satu kaidah dan kode etik akreditasi adalah ketaatan dan ketertiban terhadap prosedur akreditasi program studi. Berikut tahapan akreditasi terhadap program studi dan/atau penyelenggara program studi:
  1. BAN-PT memberitahu penyelenggara program studi mengenai prosedur pelaksanaan akreditasi program studi.  
  2. Penyelenggara program studi mengisi borang sesuai dengan cara yang dituangkan dalam Pedoman Pengisian Borang Program studi. 
  3. Penyelenggara program studi mengirimkan borang tersebut beserta lampiran-lampirannya kepada BAN-PT. 
  4. BAN-PT memverifikasi kelengkapan borang tersebut. 
  5. BAN-PT menetapkan (melalui seleksi dan pelatihan) tim asesor yang terdiri atas dua orang pakar sejawat yang memahami penyelenggaraan program studi. 
  6. Setiap asesor secara mandiri menilai dokumen akreditasi program studi yang terdiri atas borang program studi, borang fakultas/sekolah tinggi, serta laporan evaluasi-diri program studi (asesmen kecukupan) dalam bentuk lokakarya di tempat yang disediakan oleh BAN-PT selama 2 – 3 hari. 
  7. Pada akhir lokakarya tersebut setiap anggota tim asesor menyerahkan kepada BAN-PT hasil asesmen kecukupan atau kekurangan dalam penyelenggaraan program studi, serta saran-saran perbaikan yang tentunya akan menjadi acuan prodi dalam melangkah ke depan. 
  8. Tim asesor melakukan asesmen lapangan ke lokasi perguruan tinggi selama 2 sampai 3 hari kerja. 
  9. Tim asesor melaporkan hasil asesmen lapangan kepada BAN-PT paling lama seminggu setelah asesmen lapangan. 
  10. BAN-PT memvalidasi laporan tim asesor. 
  11. BAN-PT menetapkan hasil akreditasi program studi. 
  12. BAN-PT mengumumkan hasil akreditasi kepada masyarakat luas, menginformasikan hasil keputusan kepada asesor yang terkait, dan menyampaikan sertifikat akreditasi kepada penyelenggara program studi yang bersangkutan. Sebagai ukuran kesiapan perguruan tinggi melakukan proses pendidikan, hasil akreditasi merupakan awal dari cara dan mekanisme pemeliharaan dan perbaikan pengelolaan prodi ke depan. 
  13. BAN-PT menerima dan menanggapi keluhan atau “pengaduan” dari masyarakat, untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas publik dalam proses dan hasil penilaian
Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi  

Menurut SK Mendiknas No.004/U/2002 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi, penilaian EPSBED dilakukan oleh BAN-PT. BAN-PT dibentuk sebagai badan independen nonstruktural yang bertugas melakukan penilaian terhadap mutu dan (upaya penjaminan mutu serta) efisiensi penyelenggara pendidikan tinggi.

Dasar akreditasi program studi adalah data dan informasi yang diberikan oleh perguruan  tinggi serta verifikasi BAN-PT dalam bentuk kunjungan ke lokasi penyelenggaraan program studi. Data dan informasi yang disampaikan meliputi kurikulum, mutu dan jumlah tenaga kependidikan, mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, sarana dan prasarana, tatalaksana administrasi akademik, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan perguruan tinggi, hasil pembelajaran, dan kualitas lulusan.

Hasil akreditasi adalah pengakuan atas program studi pada perguruan tinggi yang telah memenuhi standar (atau syarat) minimal (mutu tertentu), yakni yang sesuai dengan perangkat yang telah ditentukan BAN-PT. Hasil akreditasi menjadi masukan bagi Dirjen Dikti untuk menetapkan langkah pengawasan dan pembinaan terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan.

Bagi perguruan tinggi, akreditasi merupakan bentuk akuntabilitas terhadap masyarakat. Dengan berlakunya SK Mendiknas No.004/U/2002, SK Mendikbud No.188/U/1998 tentang Akreditasi Program Studi pada Perguruan Tinggi untuk Program Sarjana dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dewasa ini, ketentuan terbaru mengenai akreditasi program studi dan perguruan tinggi diatur oleh Permendikbud No.87/2014 tentang Akreditasi Program Studi dan Perguruan Tinggi. Permendikbud No.87/2014 ini mencabut semua ketentuan yang mengatur tentang akreditasi perguruan tinggi, program studi, dan BAN-PT dalam Permendikbud No.59/2012 tentang BAN.

EPSBED
Secara fisik, EPSBED merupakan salah satu sistem informasi akademik. Sebagai aplikasi pengisian data untuk evaluasi penyelenggaraan program studi, program EPSBED yang disediakan Ditjen Dikti dapat di-download, dulu, di situs evaluasi.or.id. Pada mulanya, EPSBED berjalan di DOS dengan menggunakan TUI (Text User Interface).

Sejak tahun 2010, EPSBED mulai mengggunakan GUI (Graphical User Interface), dan bisa dijalankan di komputer berbasis Windows. Sebagai tempat kompilasi database seluruh aspek tentang perguruan tinggi, mulai dari input-proses-output-outcome per prodi, EPSBED kini lebih dikenal dengan istilah PDPT (Pangkalan Data Pendidikan Tinggi).

Data di-entry dengan menggunakan program EPSBED dan disimpan dalam bentuk file dbf. Data tersebut kemudian disimpan dalam bentuk CD untuk dikirim ke Dikti. Setelah situs evaluasi.or.id ada di tahun 2005, data bisa di-entry secara langsung lewat internet. Sejak itu pula, informasi yang ditampilkan merupakan data kumulatif sejak laporan Semester Ganjil 2002/2003.

Telah terselenggaranya EPSBED merupakan prasyarat utama bagi diberlangsungkannya proses akreditasi. EPSBED merupakan nama lain dari mekanisme IQA (internal quality assessment). EPSBED juga dikenal dengan istilah Evaluasi Kelayakan Penyelenggaraan Program Studi atas Dasar Evaluasi Diri.

Sebagai salah satu mekanisme pelaksanaan penjaminan mutu, setiap akhir semester, semua PTN wajib melaporkan ke Ditjen Dikti, sementara PTS ke Kopertis setempat. Makna dari ‘terkirimnya’ Sando data EPSBED adalah status program studi diakui keberadaannya oleh Dikti, bisa mendapat perpanjangan izin operasional, serta berhak menerima mahasiswa baru.

Validasi data EPSBED selama empat semester terakhir dijadikan dasar oleh Ditjen Dikti untuk memberikan perpanjangan ijin penyelenggaraan program studi suatu perguruan tinggi. Upaya validasi tidak diiringi dengan verifikasi lapangan, kecuali di atas meja. Akibatnya, berbagai praktek illegal semakin menjamur, dengan beberapa contoh diantaranya mencakup:12
  1. data jumlah mahasiswa yang terdaftar, 
  2. penerimaan mahasiswa yang dilakukan secara terus menerus sepanjang semester tanpa melalui proses penyaringan, 
  3. aktivitas kuliah yang berada di luar lokasi kampus (kelas jauh), 
  4. tatap muka perkuliahan yang selalu kurang dari 75%, 
  5. pelaksanaan ujian-ujian yang menyimpang dari kaidah akademik, 
  6. intervensi pimpinan terhadap kewenangan dosen dalam evaluasi hasil belajar, 
  7. plagiat dalam penulisan tugas akhir skripsi, dan lainnya. 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel