Makalah Kesehatan: Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Ada beberapa daerah di Indonesia yang terus mengalami peningkatan incidence rate demam berdarah dengue termasuk di antaranya Propinsi Nusa Tenggara Barat. Seperti yang terjadi di Kabupaten Sumbawa sejak tahun 2003 sampai tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus yang cukup signifikan dan demam berdarah dengue tidak lagi hanya terjadi di daerah perkotaan tetapi kasusnya sudah banyak ditemukan di desaa-desa. Kabupaten Sumbawa dengan jumlah penduduk 406.888 jiwa yang tersebar di 24 kecamatan, dalam lima tahun dari tahun 2003 sampai tahun 2007 telah terjadi peningkatan jumlah kasus DBD. Melihat hal tersebut ke depan diperlukan sistem kewaspadaan dini (SKD) yang lebih baik lagi dengan  pengamatan penyakit yang lebih intensif. Oleh karena DBD dalam penyebarannya begitu cepat dan mudah maka penatalaksanaan DBD secara operasional di lapangan dengan cara melakukan pengamatan terus-menerus atau dengan melakukan surveilans DBD akan sangat membantu dalam pengambilan keputusan yang tepat, cepat, dan akurat.

Demam berdarah dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang perlu untuk dicegah dan diberantas karena penyakit ini bias mengakibatkan kematian dan berpotensi KLB. Di Kabupaten Tuban selalu terjadi kasus DBD hampir setiap tahun. Untuk mengatasi hal ini dibutuhkan sistem surveilans yang baik dan mampu memantau kejadian sedini mungkin untuk dapat dilakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan 
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi pelaksanaan sistem surveilans DBD, mengidentifikasi kelemahan dan menilai sistem surveilans DBD berdasarkan atribut sistem surveilans DBD Di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban.  Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan atau menggambarkan suatu komunitas atau objek yang diteliti. Sasaran dalam penelitian ini adalah sistem surveilans epidemiologi DBD yang berada di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban. Respondennya adalah pelaksana surveilans DBD Dinas Kabupaten Tuban dan untuk crosscheck data dipilih secara purposive sampling. respondennya adalah puskesmas Tuban, Puskesmas Montong, Puskesmas Palang dan Puskesmas Wire. 
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem surveilans DBD di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban pada input belum lengkap, kelengkapan data sebesar 60,60%, sudah dilakukan kompilasi, analisis dan interpretasi data tetapi belum rutin, sudah dilakukan penyebaran informasi dan umpan balik. Penilaian atribut sistem surveilans menunjukkan bahwa sistem yang berjalan sudah sederhana, akseptabel, mempunyai NPP yang tinggi dan representatif.
Disamping itu, penilaian terhadap atribut sistem yang berjalan menunjukkan bahwa sistem yang berjalan masih kurang sensitif dan kurang tepat waktu dan sulit dievaluasi fleksibilitasnya,kualitas data dan stabilitas rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya pembenahan pelaksanaan sistem surveilans yang sedang berjalan serta melibatkan pihak terkait dalam penyusunan dan pelaksanaan program dan pelatihan surveilans kepada petugas surveilans. Menjalin kemitraan dengan BMG dalam mendapatkan data curah hujan. Perlunya pelatihan komputer khusus epidemiologi penyakit seperti program epi info dan SIG. intensitas penyebaran informasi perlu ditingkatkan untuk menambah pemahaman dan kewaspadaan masyarakat akan ancaman DBD. 


BAB II
PEMBAHASAN

A.    CONTOH KASUS
Pada awal tahun 2004 kita dikejutkan kembali dengan merebaknya penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), dengan jumlah kasus yang cukup banyak. Hal ini mengakibatkan sejumlah rumah sakit menjadi kewalahan dalam menerima pasien DBD. Untuk mengatasinya pihak rumah sakit menambah tempat tidur di lorong-lorong rumah sakit serta merekrut tenaga medis dan paramedis. Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan.
Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan dan sebagian lagi menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi dan merespon kasus ini.
Sejak Januari sampai dengan 5 Maret tahun 2004 total kasus DBD di seluruh propinsi di Indonesia sudah mencapai 26.015, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang (CFR=1,53% ).
 Kasus tertinggi terdapat di Propinsi DKI Jakarta (11.534 orang) sedangkan CFR tertinggi terdapat di Propinsi NTT (3,96%).Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut.
Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Data di bagian anak RSCM menunjukkan pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah, mual, maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai. 
Penyakit DBD pertama kali di Indonesia ditemukan di Surabaya pada tahun 1968, akan tetapi konfirmasi virologis baru didapat pada tahun 1972. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia kecuali Timor-Timur telah terjangkit penyakit. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis selalu terjadi KLB setiap tahun.KLB DBD terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Meningkatnya jumlah kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit, disebabkan karena semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, kurangnya perilaku masyarakat terhadap pembersihan sarang nyamuk, terdapatnya vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat sel tipe virus yang bersirkulasi sepanjang tahun.
Departemen kesehatan telah mengupayakan berbagai strategi dalam mengatasi kasus ini. Pada awalnya strategi yang digunakan adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan, kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke tempat penampungan air yang sulit dibersihkan. Akan tetapi kedua metode tersebut sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan. 

B.     EPIDEMIOLOGI
1. Penyebab
Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue dengan tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthropod borne viruses (arboviruses). Keempat type virus tersebut telah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia antara lain Jakarta dan Yogyakarta. Virus yang banyak berkembang di masyarakat adalah virus dengue dengan tipe satu dan tiga. 3

2. Gejala
Gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan :
a. Demam tinggi yang mendadak 2-7 hari
b. Manifestasi pendarahan, dengan bentuk : uji tourniquet positif puspura pendarahan, konjungtiva, epitaksis, melena, dsb.
c. Hepatomegali (pembesaran hati).
d. Syok, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang, tekanan sistolik sampai 80 mmHg atau lebih rendah.
e. Trombositopeni, pada hari ke 3 - 7 ditemukan penurunan trombosit sampai 100.000 /mm
.
f. Hemokonsentrasi, meningkatnya nilai Hematokrit.
g. Gejala-gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah, sakit perut, diare kejang dan sakit kepala.
h. Pendarahan pada hidung dan gusi.
i. Rasa sakit pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat pecahnya pembuluh darah.

3. Masa Inkubasi
Masa inkubasi terjadi selama 4-6 hari.

4. Penularan
Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti / Aedes albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lain. Nyamuk Aedes aegypti berasal dari Brazil dan Ethiopia dan sering menggigit manusia pada waktu pagi dan siang.
Orang yang beresiko terkena demam berdarah adalah anak-anak yang berusia di bawah 15 tahun, dan sebagian besar tinggal di lingkungan lembab, serta daerah pinggiran kumuh. Penyakit DBD sering terjadi di daerah tropis, dan muncul pada musim penghujan. Virus ini kemungkinan muncul akibat pengaruh musim/alam serta perilaku manusia.

5. Penyebaran
Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Kasus di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar ke beberapa propinsi di Indonesia, dengan jumlah kasus sebagai berikut :
·         Tahun 1996 : jumlah kasus 45.548 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 1.234 orang.
·         Tahun 1998 : jumlah kasus 72.133 orang, dengan jumlah kematian  sebanyak 1.414 orang (terjadi ledakan)
·         Tahun 1999 : jumlah kasus 21.134 orang.
·         Tahun 2000 : jumlah kasus 33.443 orang.
·         Tahun 2001 : jumlah kasus 45.904 orang
·         Tahun 2002 : jumlah kasus 40.377 orang.
·         Tahun 2003 : jumlah kasus 50.131 orang.
·         Tahun 2004 : sampai tanggal 5 Maret 2004 jumlah kasus sudah mencapai 26.015 orang, dengan jumlah kematian sebanyak 389 orang. 
C.    PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektornya, yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yang tepat, yaitu :
1. Lingkungan
Metode lingkungan untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh:
 Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu.
 Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali.
 Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
 Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
2. Biologis
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan pemakan
jentik (ikan adu/ikan cupang), dan bakteri (Bt.H-14).
3. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain dengan:
 Pengasapan/fogging (dengan menggunakan malathion dan fenthion), berguna untuk mengurangi kemungkinan penularan sampai batas waktu tertentu.
 Memberikan bubuk abate (temephos) pada tempat-tempat penampungan air seperti, gentong air, vas bunga, kolam, dan lain-lain.

Cara yang paling efektif dalam mencegah penyakit DBD adalah dengan mengkombinasikan cara-cara di atas, yang disebut dengan 3M Plus, yaitu menutup, menguras, menimbun. Selain itu juga melakukan beberapa plus seperti memelihara ikan pemakan jentik, menabur larvasida, menggunakan kelambu pada waktu tidur, memasang kasa, menyemprot dengan insektisida, menggunakan repellent, memasang obat nyamuk, memeriksa jentik berkala, dll sesuai dengan kondisi setempat.
D.    PENGOBATAN

Pengobatan penderita Demam Berdarah adalah dengan cara:
·         Penggantian cairan tubuh.
·         Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter 2 liter dalam 24 jam (air teh dan gula sirup atau susu).
·         Gastroenteritis oral solution/kristal diare yaitu garam elektrolit (oralit), kalau perlu 1 sendok makan setiap 3-5 menit.
E.     KEBIJAKAN PEMERINTAH
Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh penyakit demam berdarah, pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa kebijakan, di antaranya adalah:
a)      Memerintahkan semua rumah sakit baik swasta maupun negeri untuk tidak menolak pasien yang menderita DBD. 
b)      Meminta direktur/direktur utama rumah sakit untuk memberikan pertolongan secepatnya kepada penderita DBD sesuai dengan prosedur tetap yang berlaku serta membebaskan seluruh biaya pengobatan dan perawatan penderita yang tidak mampu sesuai program PKPS-BBM/ program kartu sehat . (SK Menkes No. 143/Menkes/II/2004 tanggal 20 Februari 2004). 
c)      Melakukan fogging secara massal di daerah yang banyak terkena DBD. 
d)     Membagikan bubuk Abate secara gratis pada daerah-daerah yang banyak terkena DBD. Melakukan penggerakan masyarakat untuk melaksanakan pemberantasan sarang nyamuk melalui 3M dan merekrut juru pemantau jentik (jumantik).
e)      Penyebaran pamflet lewat udara tentang pentingnya melakukan gerakan 3 M (Menguras, Menutup, Mengubur). 
f)       Menurunkan tim bantuan teknis untuk membantu RS di daerah , yang terdiri dari unsur-unsur : 
·         Ikatan Dokter Anak Indonesia
·         Persatuan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia
·         Asosiasi Rumah Sakit Daerah
g)      Membantu propinsi yang mengalami KLB dengan dana masing-masing Rp. 500 juta, di luar bantuan gratis ke rumah sakit.
h)      Mengundang konsultan WHO untuk memberikan pandangan, saran dan bantuan teknis.
i)        Menyediakan call center.   DKI Jakarta, Pusadaldukes (021) 34835188 (24 jam)
 DEPKES, Sub Direktorat Surveilans (021) 4265974, (021) 42802669
 DEPKES, Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) (021) 5265043
j)        Melakukan Kajian Sero-Epidemiologis untuk mengetahui penyebaran virus dengue.
Peran Masyarakat dalam Pemberantasan DBD
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali muncul sebagai wabah. 
Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti.
Nyamuk Aedes aegypti adalah nyamuk yang mempunyai sifat yang khas, menggigit pada waktu siang yaitu pada pagi dan sore hari, hinggap antara lain di gantungan baju, dan berkembang biak di tempat penampungan air bersih seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung dan barang-barang bekas yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan terisi air.
Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal. 1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, 2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, 3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.
Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat
Masyarakat dapat ikut berperan dalam 3 upaya pemberantasan penyakit DBD tersebut. Sebagai contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini.
Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD.
Masyarakat juga dapat berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat dapat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). 
Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. 
Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes aegipty tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan.
Masyarakat dapat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. 
Sejak dulu tidak ada yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan. 
Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehingga dapat mengubah perilaku masyarakat dan lingkungannya ke arah perilaku dan lingkungan yang bersih dan sehat, tidak kondusif untuk hidup nyamuk Aedes aegypti. 
Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan-gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Jika ini dilakukan maka selain penyakit DBD maka penyakit-penyakit lain yang berbasis lingkungan seperti leptospirosis, diare dan lain-lain akan ikut terberantas ibaratkan "sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui...."
Keberhasilan Jenderal WC Gorgas memberantas nyamuk Aedes aegypti untuk memberantas demam kuning (Yellow Fever) lebih dari 100 tahun yang lalu di Kuba dapat kita ulangi di Indonesia. Teknologi yang digunakan oleh Jenderal Gorgas adalah gerakan PSN yang dilaksanakan serentak dan secara besar-besaran di seluruh negeri. 
Agar gerakan yang dilakukan oleh Jenderal Gorgas bisa dilakukan di Indonesia diperlukan komitmen yang kuat dari seluruh jajaran struktur pemerintahan bersama-sama masyarakat dan swasta.
Berbagai negara yang mempunyai masalah yang sama dengan Indonesia menggunakan berbagai macam pendekatan dalam melakukan PSN antara lain Singapura dan Malaysia menggunakan pendekatan hukum yaitu masayarakat yang rumahnya kedapatan ada jentik Aedes aegypti dihukum dengan membayar denda. 
Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik Aedes aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk membersihan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang tersebut dipanggil dan didenda.
Dalam era otonomi dan desentralisasi saat ini Pemerintah Kabupaten/Kota dalam mengatur rumah tangganya sendiri dapat melakukan gerakan-gerakan inovatif seperti yang disebutkan di atas yang didukung dengan berbagai Peraturan Daerah.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel